Nama :
Teresa M. Simorangkir
Kelas : 15
Sastra B
NIM :
2225154619
Suku Batak
adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami
wilayah Provinsi Sumatra Utara, khususnya di sekitar Danau Toba.
Suku Batak memiliki beberapa puak
(sub-sub suku). Ada beberapa pendapat tentang jumlah puak ini. Ada yang
menyebut bahwa ada lima puak yaitu Toba, Pakpak, Karo, Mandailing, dan
Simalungun. Namun ada pula yang menyebut sebelas yaitu kelima puak tersebut ditambah
Angkola, Pasisir, Melayu, Nias, Alas Gayo, dan Padang Lawas. Masing-masing puak
terdiri dari banyak marga dan memiliki ciri khas nama marganya.
Suku Batak
diikat oleh kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga adalah istilah untuk
menyebut leluhur induk dari silsilah keluarga dan kekerabatan mereka. Marga
menjadi identitas orang Batak yang masih bertahan hingga kini.
Sudah menjadi tradisi yang dijunjung
tinggi di kalangan masyarakat Batak untuk memelihara pengetahuan silsilahnya
sampai beberapa generasi serta riwayat para leluhur yang disampaikan dari
generasi ke generasi. Nenek moyang orang Batak dari zaman dahulu sudah menyusun
silsilah setiap keturunannya sehingga setiap orang Batak memiliki silsilah
(tarombo) yang jelas. Silsilah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
orang Batak. Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal ompung
(kakek & nenek) yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan
tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturan)
dalam marga. Mereka yang tidak mengetahui silsilahnya dianggap sebagai hal yang
memalukan.
Partuturan juga hal yang sangat
penting untuk diketahui seluruh orang Batak. Partuturan menentukan bagaimana
seseorang harus bersikap dan bagaimana cara memahami, menghormati, dan
menghargai satu sama lain. Partuturan ini berhubungan erat dengan tarombo.
Sering kali terjadi sesama orang Batak bertemu, tetapi karena tidak paham
tarombo dan partuturan mereka tidak tahu bahwa mereka sebenarnya masih satu
keluarga. Berikut ini adalah beberapa contoh partuturan:
Ompung
doli/ompung boru
|
Kakek / nenek
|
Namboru
|
Saudara
perempuan ayah
|
Amangboru
|
Suami namboru
|
Tulang
|
Saudara
laki-laki ibu
|
Nantulang
|
Istri tulang
|
Hela
|
Menantu
laki-laki
|
Ito
|
Panggilan untuk saudara laki-laki/perempuan
|
Pariban
|
Anak
laki-laki namboru / Anak perempuan tulang
|
Orang Batak menganut falsafah
kekerabatan yang disebut Dalihan na Tolu (Tungku
Tiga Kaki). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak bahwa sejak lahir
hingga meninggal nanti, orang Batak harus jelas dan tahu struktur hubungan
kekeluargaan dan kekerabatannya. Isi Dalihan
na Tolu yakni:
·
Somba marhula-hula. Hula-hula merupakan keluarga dari
istri (apabila seorang pria telah menikah) atau keluarga pemberi gadis.
Hula-hula menempati posisi paling tinggi bagi suatu keluarga dan harus
dihormati.
·
Manat mardongan tubu. Dongan tubu berarti teman semarga.
Orang Batak harus selalu menjaga hubungannya dengan baik terhadap sesame teman
semarganya.
·
Elek marboru. Boru maksudnya adalah anak perempuan.
Namun disini maksud boru adalah saudara perempuan dari marga suami. Boru
menempati posisi paling bawah oleh karena itu harus selalu dikasihi.
Dalihan
na Tolu berbeda
dengan sistem kasta. Dalihan na Tolu sangat
bergantung pada konteksnya. Setiap orang, dalam suatu keadaan tertentu
(biasanya acara pernikahan) pasti akan mengalami menjadi hula-hula, dongan
tubu, dan boru.
Masyarakat Batak silsilahnya menuruti
garis ayah (patrilineal). Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
marga ayahnya. Tapi hanya pihak putra menyambung silsilah ayahnya, pihak putri
tidak bisa. Seorang yang meninggal tanpa mempunyai putra (walaupun memiliki
putri) berarti putus mata rantai silsilahnya, sebab tidak ada lagi yang
menyambung.
Selain sistem
kekerabatan dari garis keturunan, ada lagi berdasarkan sistem sosiologis. Kekerabatan berdasarkan
sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan). Padan pada mulanya terjadi
antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga
dengan sekelompok keluarga lainnya yang berbeda marga. Walaupun berlainan
marga, tetapi dalam setiap marga ditetapkan ikatan agar kedua pihak yang
berpadan tersebut saling menganggap sebagai dongan
sabutuha. Dongan sabutuha ini bisa diartikan sebagai orang yang dilahirkan
dari ibu yang sama (butuha: perut, sabutuha: satu perut). Hal ini berarti
setiap pihak yang berpadan wajib menganggap anak dari teman padannya sebagai
anaknya sendiri. Mereka berjanji akan memegang teguh janji tersebut dan
memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap dipatuhi dan
dilaksanakan. Kadang kala, ikatan kekeluargaan padan lebih erat daripada ikatan
kekeluargaan marga. Maka dari itu muncullah falsafah "Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang; togu nidok ni uhum,
toguan nidok ni padan" yang berarti "Teguh akar bambu, lebih
teguh akar rumput; teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji". Berikut
ini adalah beberapa contoh marga yang saling berpadan:
1. Marbun dengan Sihotang
2. Panjaitan dengan Manullang
3. Tampubolon dengan Sitompul
4. Sitorus dengan Hutajulu, Hutahaean, Aruan
5. Nahampun dengan Situmorang
Apabila orang Batak ingin
melaksanakan acara adat, maka orang-orang yang terlibat dalam acara tersebut
merupakan orang-orang yang semarga. Namun bukan berarti semua yang bermarga
sama harus ikut serta, harus dilihat lagi dari kedekatan berdasarkan silsilah
keluarga yang bersangkutan. Maka dari itu, penting bagi seorang Batak untuk
mengetahui siapa saja teman-teman semarga terdekatnya. Orang Batak juga sering
mengundang atau melibatkan tetangga (dongan sahuta) dalam acara adat. Maka dari
itu ada falsafah orang Batak yang berbunyi "Jonok
dongan partubu, jonokan do dongan parhundul". Artinya adalah agar kita senantiasa menjaga hubungan
baik dengan tetangga, karena merekalah keluarga terdekat. Akan tetapi, dalam
pelaksanaan adat tetap yang pertama dicari adalah yang satu marga dengan tidak
melupakan tetangga.
Kesimpulan dari sistem kekerabatan suku Batak
adalah, orang Batak sangat menjunjung tinggi ikatan kekerabatan. Sudah menjadi
tradisi yang dijunjung tinggi di kalangan masyarakat Batak untuk memelihara
pengetahuan silsilahnya sampai beberapa generasi atau minimal tahu siapa kakek
dan neneknya, serta riwayat para leluhur atau yang disampaikan dari generasi ke
generasi. Orang tua wajib mengajari anaknya mengenai partuturan agar apabila
dewasa nanti sang anak tidak menjadi orang Batak yang “tersasar” yang tidak
paham siapa keluarga-keluarga terdekatnya dari satu marga.
Sumber:
·
Hutagalung,
Wasinton. 1961. Tarombo Marga ni Suku
Batak. Medan: Fa. Sihardo, Dj. Rupat 3.
·
Sebuah Keluarga dari Suku Batak,
Sumatera Utara. 198-?. Perpustakaan Nasional.
·
Vergouwen,
Jacob Cornelis. 2004. Masyarakat dan
Hukum Adat Batak Toba. PT LKiS Pelangi Aksara.
·
N. Siahaan. 1964. Sedjarah Kebudajaan Batak. Medan: CV. Napitupulu
& Sons.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar