Rabu, 06 April 2016

SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK


Nama          : Teresa M. Simorangkir
Kelas          : 15 Sastra B
NIM            : 2225154619


          Suku Batak adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatra Utara, khususnya di sekitar Danau Toba.
Suku Batak memiliki beberapa puak (sub-sub suku). Ada beberapa pendapat tentang jumlah puak ini. Ada yang menyebut bahwa ada lima puak yaitu Toba, Pakpak, Karo, Mandailing, dan Simalungun. Namun ada pula yang menyebut sebelas yaitu kelima puak tersebut ditambah Angkola, Pasisir, Melayu, Nias, Alas Gayo, dan Padang Lawas. Masing-masing puak terdiri dari banyak marga dan memiliki ciri khas nama marganya.
          Suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga adalah istilah untuk menyebut leluhur induk dari silsilah keluarga dan kekerabatan mereka. Marga menjadi identitas orang Batak yang masih bertahan hingga kini.
Sudah menjadi tradisi yang dijunjung tinggi di kalangan masyarakat Batak untuk memelihara pengetahuan silsilahnya sampai beberapa generasi serta riwayat para leluhur yang disampaikan dari generasi ke generasi. Nenek moyang orang Batak dari zaman dahulu sudah menyusun silsilah setiap keturunannya sehingga setiap orang Batak memiliki silsilah (tarombo) yang jelas. Silsilah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal ompung (kakek & nenek) yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturan) dalam marga. Mereka yang tidak mengetahui silsilahnya dianggap sebagai hal yang memalukan.
Partuturan juga hal yang sangat penting untuk diketahui seluruh orang Batak. Partuturan menentukan bagaimana seseorang harus bersikap dan bagaimana cara memahami, menghormati, dan menghargai satu sama lain. Partuturan ini berhubungan erat dengan tarombo. Sering kali terjadi sesama orang Batak bertemu, tetapi karena tidak paham tarombo dan partuturan mereka tidak tahu bahwa mereka sebenarnya masih satu keluarga. Berikut ini adalah beberapa contoh partuturan:
Ompung doli/ompung boru
Kakek / nenek
Namboru
Saudara perempuan ayah
Amangboru
Suami namboru
Tulang
Saudara laki-laki ibu
Nantulang
Istri tulang
Hela
Menantu laki-laki
Ito
Panggilan untuk saudara laki-laki/perempuan
Pariban
Anak laki-laki namboru / Anak perempuan tulang

Orang Batak menganut falsafah kekerabatan yang disebut Dalihan na Tolu (Tungku Tiga Kaki). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak bahwa sejak lahir hingga meninggal nanti, orang Batak harus jelas dan tahu struktur hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya. Isi Dalihan na Tolu yakni:
·        Somba marhula-hula. Hula-hula merupakan keluarga dari istri (apabila seorang pria telah menikah) atau keluarga pemberi gadis. Hula-hula menempati posisi paling tinggi bagi suatu keluarga dan harus dihormati.
·        Manat mardongan tubu. Dongan tubu berarti teman semarga. Orang Batak harus selalu menjaga hubungannya dengan baik terhadap sesame teman semarganya.
·        Elek marboru. Boru maksudnya adalah anak perempuan. Namun disini maksud boru adalah saudara perempuan dari marga suami. Boru menempati posisi paling bawah oleh karena itu harus selalu dikasihi.
Dalihan na Tolu berbeda dengan sistem kasta. Dalihan na Tolu sangat bergantung pada konteksnya. Setiap orang, dalam suatu keadaan tertentu (biasanya acara pernikahan) pasti akan mengalami menjadi hula-hula, dongan tubu, dan boru.
Masyarakat Batak silsilahnya menuruti garis ayah (patrilineal). Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai marga ayahnya. Tapi hanya pihak putra menyambung silsilah ayahnya, pihak putri tidak bisa. Seorang yang meninggal tanpa mempunyai putra (walaupun memiliki putri) berarti putus mata rantai silsilahnya, sebab tidak ada lagi yang menyambung.
Selain sistem kekerabatan dari garis keturunan, ada lagi berdasarkan sistem sosiologis. Kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan). Padan pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya yang berbeda marga. Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga ditetapkan ikatan agar kedua pihak yang berpadan tersebut saling menganggap sebagai dongan sabutuha. Dongan sabutuha ini bisa diartikan sebagai orang yang dilahirkan dari ibu yang sama (butuha: perut, sabutuha: satu perut). Hal ini berarti setiap pihak yang berpadan wajib menganggap anak dari teman padannya sebagai anaknya sendiri. Mereka berjanji akan memegang teguh janji tersebut dan memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap dipatuhi dan dilaksanakan. Kadang kala, ikatan kekeluargaan padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan marga. Maka dari itu muncullah falsafah "Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang; togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan" yang berarti "Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput; teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji". Berikut ini adalah beberapa contoh marga yang saling berpadan:
1. Marbun dengan Sihotang
2. Panjaitan dengan Manullang
3. Tampubolon dengan Sitompul
4. Sitorus dengan Hutajulu, Hutahaean, Aruan
5. Nahampun dengan Situmorang
Apabila orang Batak ingin melaksanakan acara adat, maka orang-orang yang terlibat dalam acara tersebut merupakan orang-orang yang semarga. Namun bukan berarti semua yang bermarga sama harus ikut serta, harus dilihat lagi dari kedekatan berdasarkan silsilah keluarga yang bersangkutan. Maka dari itu, penting bagi seorang Batak untuk mengetahui siapa saja teman-teman semarga terdekatnya. Orang Batak juga sering mengundang atau melibatkan tetangga (dongan sahuta) dalam acara adat. Maka dari itu ada falsafah orang Batak yang berbunyi "Jonok dongan partubu, jonokan do dongan parhundul". Artinya adalah agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah keluarga terdekat. Akan tetapi, dalam pelaksanaan adat tetap yang pertama dicari adalah yang satu marga dengan tidak melupakan tetangga.
 Kesimpulan dari sistem kekerabatan suku Batak adalah, orang Batak sangat menjunjung tinggi ikatan kekerabatan. Sudah menjadi tradisi yang dijunjung tinggi di kalangan masyarakat Batak untuk memelihara pengetahuan silsilahnya sampai beberapa generasi atau minimal tahu siapa kakek dan neneknya, serta riwayat para leluhur atau yang disampaikan dari generasi ke generasi. Orang tua wajib mengajari anaknya mengenai partuturan agar apabila dewasa nanti sang anak tidak menjadi orang Batak yang “tersasar” yang tidak paham siapa keluarga-keluarga terdekatnya dari satu marga.

Sumber:
·        Hutagalung, Wasinton. 1961. Tarombo Marga ni Suku Batak. Medan: Fa. Sihardo, Dj. Rupat 3.
·        Sebuah Keluarga dari Suku Batak, Sumatera Utara. 198-?. Perpustakaan Nasional.
·        Vergouwen, Jacob Cornelis. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. PT LKiS Pelangi Aksara.

·        N. Siahaan. 1964. Sedjarah Kebudajaan Batak. Medan: CV. Napitupulu & Sons.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar