Rabu, 06 April 2016

Pengaruh Patrilineal dan Matrilineal bagi Beberapa Daerah di Sumatera Selatan
oleh Sarah Maharani
15 Sastra B - 2225155054


                Di dalam sistem kekerabatan, dikenal kata ‘patrilineal’ dan ‘matrilineal’. Sistem tersebut sebenarnya merupakan sistem penarikan garis keturunan. Patrilineal berarti garis keturunan ditarik melalui laki-laki, sedangkan matrilineal dari perempuan. Hal ini juga berlaku pada beberapa daerah di salah satu provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Selatan. Daerah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Palembang, Lubai, Rambang dan dua suku yaitu Suku Lintang dan Suku Sekayu. Palembang merupakan ibukota Sumatera Selatan yang diketahui dengan baik oleh penduduk Indonesia pada umumnya. Namun, tidak banyak yang mengetahui tentang Lubai, Rambang, Suku Lintang dan Suku Sekayu. Lubai dan Rambang merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sementara, Suku Lintang terletak di Kabupaten Empat Lawang dan Suku Sekayu terletak di Kabupaten Musi Banyuasin. Meskipun Palembang, Lubai, Rambang dan kedua suku tersebut berada pada satu provinsi, hal itu tidak memungkiri adanya perbedaan dalam menentukan garis keturunan yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat dari daerah-daerah tersebut.
                Dalam masyarakat Palembang, sistem penarikan garis keturunan yang dianut adalah matrilineal. Sebelum menikah, pemuda diberi pilihan untuk dijodohkan atau dibebaskan mencari jodoh berdasarkan keturunan dan fungsi social keluarga si gadis. Namun, pernikahan yang baik bagi masyarakat Palembang adalah pernikahan antar dua orang saudara sepupu, baik dari pihak ayah maupun ibu dan perkawinan antara dua orang yang sama lapisan sosialnya sehingga sistem gelar kemasyarakatan dapat dipertahankan. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Palembang masih terpaku pada status sosial dalam pernikahan, seperti pada zaman kerajaan dimana bangsawan harus menikah dengan bangsawan agar mempertahankan gelar. Setelah menikah, suami tinggal bersama-sama di rumah istri bersama orang tua dan saudara-saudara istri sampai mereka mampu mendirikan rumah sendiri. Selama tinggal di rumah istri, suami bersama-sama mertua harus menanggung kebutuhan sehari-hari. Jika sudah mampu mendirikan rumah sendiri, biasanya rumah pasangan tersebut berada berdekatan dengan rumah orang tua istri. Hal ini sering menjadi penyebab terjadinya perceraian dalam rumah tangga masyarakat Palembang. Sesungguhnya, perceraian dianggap sumbang oleh masyarakat Palembang, apabila terjadi, biasanya adalah akibat pengaruh campur tangan orang tua.
                Berbeda dengan Palembang, masyarakat Lubai menganut kedua sistem sekaligus, matrilineal dan patrilineal. Pada dasarnya, di Lubai terdapat dua adat perkawinan yaitu Jujur dan Semenda. Jujur adalah patrilineal karena istri wajib mengikuti tempat kediaman suami. Pada saat menikah, harus ada barang jujur, yaitu barang yang berfungsi mengembalikan keseimbangan magis dan melepaskan perempuan dari ikatan hak dan kewajiban keluarga asal. Barang jujur berangsur-angsur berganti menjadi uang jujur. Akibat dari sistem patrilineal ini, istri putus hubungan dengan keluarga biologis dan anak-anak yang lahir menarik garis dari ayahnya. Lain halnya dengan semenda yang menganut matrilokal, istri tidak wajib mengikuti tempat tinggal suami. Kawin semenda dalam bahasa Lubai disebut ngambek anak. Ngambek anak biasanya terjadi apabila di dalam suatu keluarga, tidak terdapat anak laki-laki. Anak perempuan tidak boleh kawin jujur, melainkan harus kawin semenda agar anak perempuan tetap di keluarganya dan tidak pindah ke keluarga laki-laki. Kemudian, anak-anak yang lahir akan mengikuti garis keturunan ibunya.
            Tidak banyak berbeda dengan Lubai, Rambang menganut dua sistem patrilineal dalam kasus-kasus tertentu. Pada dasarnya, masyarakat Rambang menganut patrilineal dan menganggap bahwa keturunan seseorang hanya akan diteruskan oleh laki-laki sementara anak perempuan dianggap menjadi bagian keluarga mertuanya dan meneruskan keturunan dari orang tua suaminya. Namun, sama seperti kasus pada masyarakat Lubai, keluarga yang tidak memiliki anak perempuan anak melakukan proses ngampi atau pengambilan mantu laki-laki. Status laki-laki tekampi berubah dari penerus keturunan keluarga menjadi penerus keturunan bapak dari istrinya. Ngampi juga, adalah antisipasi terhadap hukum waris masyarakat Rambang yang hanya memberikan hak waris pada laki-laki sementara perempuan tidak berhak atas harta orang tuanya. Pada pelaksaannya, semua kebutuhan dalam adat pernikahan yang mestinya menjadi tanggungjawab pihak mempelai laki-laki, diambil alih oleh pihak mempelai perempuan. Misalnya, uang jujur maupun biaya pesta pernikahan. Pesta yang semestinya dilaksanakan di rumah keluarga laki-laki pun dilakukan di di rumah perempuan. Karena adanya tetampi ini, masyarakat Rambang mulai lebih adil dalam membagikan harta warisan dan tidak berdasarkan jenis kelamin anak, meskipun hal ini hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu saja.
                Suku Lintang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Para suami bekerja sebagai petani, tetapi pekerjaan itu hanya berlangsung ketika panen kopi setahun sekali. Para istri juga ikut bekerja di ladang dan seringkali meninggalkan anak-anaknya di rumah sehingga menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan pengawasan yang cukup dan hidup terlalu bebas.
                Yang unik dari suku Sekayu yang juga menganut patrilineal adalah sudah menjadi tradisi bagi suku Sekayu untuk menginginkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan anak laki-laki dianggap sebagai jaminan bakal negeri (memperkuat kekuasaan mereka) dan jaminan kelanjutan garis keturunan mereka atau marga. Di suku Sekayu, para istri wajib memelihara peraturan dan keharmonisan rumah tangga.

Sumber:
1.      MAKANAN : WUJUD VARIASI DAN FUNGSINYA SERTA CARA PENYAJIANNYA PADA ORANG PALEMBANG DAERAH SUMATERA SELATAN diterbitkan oleh DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

5.       http://sanakgale.blogspot.com/2011/04/untitled.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar