Pengaruh Patrilineal dan Matrilineal
bagi Beberapa Daerah di Sumatera Selatan
oleh Sarah Maharani
15 Sastra B - 2225155054
Di dalam sistem kekerabatan,
dikenal kata ‘patrilineal’ dan ‘matrilineal’. Sistem tersebut sebenarnya
merupakan sistem penarikan garis keturunan. Patrilineal berarti garis keturunan
ditarik melalui laki-laki, sedangkan matrilineal dari perempuan. Hal ini juga
berlaku pada beberapa daerah di salah satu provinsi di Indonesia, yaitu
Sumatera Selatan. Daerah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Palembang,
Lubai, Rambang dan dua suku yaitu Suku Lintang dan Suku Sekayu. Palembang
merupakan ibukota Sumatera Selatan yang diketahui dengan baik oleh penduduk
Indonesia pada umumnya. Namun, tidak banyak yang mengetahui tentang Lubai,
Rambang, Suku Lintang dan Suku Sekayu. Lubai dan Rambang merupakan kecamatan
yang terletak di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sementara, Suku
Lintang terletak di Kabupaten Empat Lawang dan Suku Sekayu terletak di
Kabupaten Musi Banyuasin. Meskipun Palembang, Lubai, Rambang dan kedua suku
tersebut berada pada satu provinsi, hal itu tidak memungkiri adanya perbedaan
dalam menentukan garis keturunan yang sangat berpengaruh pada kehidupan
masyarakat dari daerah-daerah tersebut.
Dalam masyarakat Palembang, sistem
penarikan garis keturunan yang dianut adalah matrilineal. Sebelum menikah,
pemuda diberi pilihan untuk dijodohkan atau dibebaskan mencari jodoh
berdasarkan keturunan dan fungsi social keluarga si gadis. Namun, pernikahan
yang baik bagi masyarakat Palembang adalah pernikahan antar dua orang saudara
sepupu, baik dari pihak ayah maupun ibu dan perkawinan antara dua orang yang
sama lapisan sosialnya sehingga sistem gelar kemasyarakatan dapat
dipertahankan. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Palembang masih
terpaku pada status sosial dalam pernikahan, seperti pada zaman kerajaan dimana
bangsawan harus menikah dengan bangsawan agar mempertahankan gelar. Setelah
menikah, suami tinggal bersama-sama di rumah istri bersama orang tua dan
saudara-saudara istri sampai mereka mampu mendirikan rumah sendiri. Selama
tinggal di rumah istri, suami bersama-sama mertua harus menanggung kebutuhan
sehari-hari. Jika sudah mampu mendirikan rumah sendiri, biasanya rumah pasangan
tersebut berada berdekatan dengan rumah orang tua istri. Hal ini sering menjadi
penyebab terjadinya perceraian dalam rumah tangga masyarakat Palembang. Sesungguhnya,
perceraian dianggap sumbang oleh masyarakat Palembang, apabila terjadi,
biasanya adalah akibat pengaruh campur tangan orang tua.
Berbeda dengan Palembang,
masyarakat Lubai menganut kedua sistem sekaligus, matrilineal dan patrilineal. Pada
dasarnya, di Lubai terdapat dua adat perkawinan yaitu Jujur dan Semenda. Jujur
adalah patrilineal karena istri wajib mengikuti tempat kediaman suami. Pada
saat menikah, harus ada barang jujur, yaitu barang yang berfungsi mengembalikan
keseimbangan magis dan melepaskan perempuan dari ikatan hak dan kewajiban
keluarga asal. Barang jujur berangsur-angsur berganti menjadi uang jujur.
Akibat dari sistem patrilineal ini, istri putus hubungan dengan keluarga
biologis dan anak-anak yang lahir menarik garis dari ayahnya. Lain halnya
dengan semenda yang menganut matrilokal, istri tidak wajib mengikuti tempat
tinggal suami. Kawin semenda dalam bahasa Lubai disebut ngambek anak. Ngambek
anak biasanya terjadi apabila di dalam suatu keluarga, tidak terdapat anak
laki-laki. Anak perempuan tidak boleh kawin jujur, melainkan harus kawin
semenda agar anak perempuan tetap di keluarganya dan tidak pindah ke keluarga
laki-laki. Kemudian, anak-anak yang lahir akan mengikuti garis keturunan ibunya.
Tidak banyak berbeda dengan Lubai, Rambang menganut dua sistem
patrilineal dalam kasus-kasus tertentu. Pada dasarnya, masyarakat Rambang
menganut patrilineal dan menganggap bahwa keturunan seseorang hanya akan
diteruskan oleh laki-laki sementara anak perempuan dianggap menjadi bagian
keluarga mertuanya dan meneruskan keturunan dari orang tua suaminya. Namun,
sama seperti kasus pada masyarakat Lubai, keluarga yang tidak memiliki anak
perempuan anak melakukan proses ngampi atau pengambilan mantu laki-laki. Status
laki-laki tekampi berubah dari penerus keturunan keluarga menjadi penerus
keturunan bapak dari istrinya. Ngampi juga, adalah antisipasi terhadap hukum
waris
masyarakat Rambang yang hanya memberikan hak waris pada laki-laki sementara
perempuan tidak berhak atas harta orang tuanya. Pada pelaksaannya, semua kebutuhan dalam adat
pernikahan yang mestinya menjadi tanggungjawab pihak mempelai laki-laki,
diambil alih oleh pihak mempelai perempuan. Misalnya, uang jujur maupun biaya
pesta pernikahan. Pesta yang semestinya dilaksanakan di rumah keluarga
laki-laki pun dilakukan di di rumah perempuan. Karena adanya tetampi ini, masyarakat
Rambang mulai lebih adil dalam membagikan harta warisan dan tidak berdasarkan
jenis kelamin anak, meskipun hal ini hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu
saja.
Suku
Lintang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Para suami bekerja sebagai
petani, tetapi pekerjaan itu hanya berlangsung ketika panen kopi setahun
sekali. Para istri juga ikut bekerja di ladang dan seringkali meninggalkan
anak-anaknya di rumah sehingga menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan
pengawasan yang cukup dan hidup terlalu bebas.
Yang
unik dari suku Sekayu yang juga menganut patrilineal adalah sudah menjadi
tradisi bagi suku Sekayu untuk menginginkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan
anak laki-laki dianggap sebagai jaminan bakal negeri (memperkuat kekuasaan
mereka) dan jaminan kelanjutan garis keturunan mereka atau marga. Di suku Sekayu,
para istri wajib memelihara peraturan dan keharmonisan rumah tangga.
Sumber:
1. MAKANAN
: WUJUD VARIASI DAN FUNGSINYA SERTA CARA PENYAJIANNYA PADA ORANG PALEMBANG
DAERAH SUMATERA SELATAN diterbitkan oleh DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
5.
http://sanakgale.blogspot.com/2011/04/untitled.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar