Rabu, 06 April 2016

Pi’il Pesenggeri

Nama / NIM    : Lulu Lutpiyah / 2225151065
Kelas               : 15 SAS B
Mata Kuliah    : Budaya dan Kearifan Lokal
Tema               : Sistem Kepercayaan Suku Lampung


Pada umumnya masyarakat Suku  Lampung adalah penganut Agama Islam, namun terdapat juga agama Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Untuk Lampung, persatuan adat, kekerabatan, kerajaan, (ke)marga(an), dan semacamnya memang lebih kental dalam bentukan identitas kolektif. Tetapi meskipun dikenal sebagai pemeluk  Agama Islam, di kalangan masyarakat.  Suku Lampung masih bisa ditemukan kepercayaan lama mereka dan masih berkembang, mereka menyebutnya sebagai kepercayaan pada Zaman Tumi. Mereka juga mempercayai dewa-dewa, makhluk halus, kekuatan gaib dan mempercayai tanda atau bunyi aneh, mimpi dan alamat. Sehubungan dengan kepercayaan ini, mereka mengenal berbagai upacara adat dengan berbagai sesajian sebagai pelengkapnya. 

Menurut ajaran Islam sesajian itu sebenarnya suatu hal yang dapat dikatakan “syirik” tapi nyatanya di beberapa daerah kebudayaan tersebut masih tetap berjalan. 

Kepercayaan seperti ini dapat ditemui apabila cara untuk bertindak atau tindakan dalam menghadapi bahaya, menghindari bahaya, mencapai suatu maksud, juga ketika terkejut dan lain-lainnya, sehingga dengan berbuat atau berkata sesuatu, maka terhindarlah seseorang dari sesuatu bahaya. Sebagai contoh jika akan berjalan jauh maka dipilih hari keberangkatan yang baik, yaitu hari Senin dan hari Kamis, sedangkan hari patangan untuk bepergian adalah hari Selasa. Di kalangan penduduk terdapat perhitungan waktu yang baik dan yang buruk. Ketika seseorang akan berjalan jauh meninggalkan kampung halaman, agar ia tidak selalu rindu terhadap kenangan kampung halaman, maka sebelum ia berangkat ia mengambil sedikit tanah dari bawah tangga rumah, untuk dibawanya pergi. Dan jika terdengar petir menyambar sekali dan sambung-menyambung (gontor tunggal), maka hal itu berarti akan dating penyakit menular. Untuk menghindari penyakit itu, maka masyarakat lampung membakar rumput-rumput setiap sore di bawah tangga rumah.

Secara umum kita sudah mengetahui bahwa masyarakat Lampung memiliki karakteristik adat budaya sendiri. Karakteristik adat budaya yang khas bagi masyarakat Lampung itu tertuang dalam prinsip Pi’il Pesenggiri diartikan sebagai kehormatan diri, malu bersalah , perasaan berharga atau harga diri. Pada dasarnya identitas orang Lampung banyak sekali ditentukan oleh  Pi’il Pesenggiri. Sejauh mana Pi’il Pesenggiri  masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pi’il Pesenggiri  disamping sebagai watak dan sifat orang Lampung, juga merupakan pedoman hidup dan pandangan hidup orang Lampung. Untuk menjaga harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam pergaulannya senantiasa dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang baik,benar, dan terpuji. Selain  itu ada beberapa prinsip hidup yang lainnya yang saling menunjang yaitu : Belujuk-Buadek (bergelar adat atau bernama dan bergelar), Memui-Nyimah (ramah dan terbuka atau peduli), Nengah-Nyappur (bermasyarakat dan berhaul , dan Sakay-Sambayan (tolong- menolong).
Bagi masyarakat muslim Lampung prinsip Pi’il Pesenggiri dilandasi oleh nilai dan hukum Islam. Dalam Surat Ali Imran ayat 104 dijelaskan bahwa “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang meyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang- orang yang beruntung.”  Hal ini tidak bisa disangkal karena memang mayoritas masyarakat Lampung beragama Islam.
Sikap masyarakat adalah suatu kesadaran masyarakat yang menentukan perbuatannya yang nyata ataupun yang mungkin akan terjadi di dalam kegiatan sosial. Menjaga kehormatan dalam pergaulan kemasyarakatan dengan selalu berlomba berbuat kebaikan dan kebenaran yang berguna sesuai dengan nilai-nilai budaya yang tercermin dalam konsep Pi’il Pesenggiri. Ini dapat dilihat dari nilai salah satu kehormatan wanita adalah jika wanita itu menutup auratnya, bukan justru membukanya agar menjadi perhatian. Masyarakat Lampung sangat menghayati Pi’il Pesenggiri itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka masih merasakan bahwa bila Pi’il Pesenggiri tidak selaras dengan suatu perbuatan, maka dengan spontan mereka melakukan tindakan tanpa memikirkan akibat yang harus ditanggungnya. Demi mempertahankan Pi’il Pesenggiri itu mereka melakukan tindakan yang main hakim sendiri yang kadang-kadang diikuti dengan penuh penyesalan karena persoalan hal yang sangat sepele. Tetapi demi Pi’il Pesenggiri itu, demi harga diri, tidak segan-segan mereka melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan undang-undang Negara.
Terjadinya pembunuhan dengan dalih Pi’il Pesenggiri kadang-kadang diterima sebagai suatu resiko yang harus terjadi tanpa penyesalan. Mendarah dagingnya Pi’il Pesenggiri itu merupakan hasil sosialisasi yang berlangsung selama bertahun-tahun, didukung oleh lingkungan yang kondusif. Meskipun secara alamiah tidak diturunkan kepada generasi berikutnya tetapi dalam kenyataannya Pi’il Pesenggiri itu akan diturunkan melalui kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang didukung oleh penyelenggaraan adat yang masih dapat dilakukan.
Sebagai contoh pada suatu ketika seorang suami sedang membonceng istrinya dengan sepeda motor, ada seorang yang tersenyum kepada istrinya karena ia kenal dengan istrinya, sedang si suami tidak kenal, dengan langsung ia turun dari sepeda motornya dan mencegat orang itu. Ia mengatakan “mengapa tersenyum melihat istri saya?”. Tentu saja orang itu akan minta maaf segera, karena jika tidak, akan terjadi sesuatu yang tidak dinginkan. Tetapi jika bertemu sama-sama memegang Pi’il Pesenggiri peristiwa itu akan lain. Dari hal yang sepele seperti ini demi Pi’il Pesenggiri, mereka akan membuat persoalan menjadi besar.
Norma-norma yang berisikan keharusan, larangan, anjuran dan kebolehan dapat digunakan sebagai standar perilaku untuk dapat mempertahankan kehormatan diri dari perbuatan tercela dalam setiap hal apapun. Bersaing secara jujur, tidak menginjak harga diri orang lain, berprofesi dengan landasan moral dan kebenaran merupakan prinsip hidup bagi orang-orang muslim. Lebih baik bekerja sampingan sebagai sales daripada harus menghalalkan segala cara cemi status dan kemasyhuran nama. Dengan demikian berarti Pi’il Pesenggiri pada hakikatnya telah menunjukan apa yang disebut sebagai karakteristik adat budaya Lampung pada umumnya.

Sumber
https://mobile.facebook.com/notes/lampung-institute-pusat-kajian-agama-dan-budaya/mengenal-islamisasi-adat-budaya-lampung/381210637921/?_rdr&refsrc=http%3A%2F%2Fmail.google.com%2Fmail%2Fu%2F0%2F


2.








3.










Sayuti, Husin. 1992. Pengetahuan sikap dan persepsi mengenai Pi’il Pesenggiri pada masyarakat etnik suku Lampung dalam Kodamadya Bandar Lampung. Universitas Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar