Nama /
NIM : Lulu Lutpiyah / 2225151065
Kelas : 15 SAS B
Mata
Kuliah : Budaya dan Kearifan Lokal
Tema : Sistem Kepercayaan Suku Lampung
Pada
umumnya masyarakat Suku Lampung adalah
penganut Agama Islam, namun terdapat juga agama Kristen, Katolik,
Budha dan Hindu. Untuk Lampung, persatuan adat, kekerabatan, kerajaan,
(ke)marga(an), dan semacamnya memang lebih kental dalam bentukan identitas
kolektif. Tetapi meskipun dikenal sebagai pemeluk Agama Islam, di kalangan masyarakat. Suku Lampung masih bisa ditemukan kepercayaan
lama mereka dan masih berkembang, mereka menyebutnya sebagai kepercayaan pada
Zaman Tumi. Mereka juga mempercayai dewa-dewa, makhluk halus, kekuatan gaib dan
mempercayai tanda atau bunyi aneh, mimpi dan alamat. Sehubungan dengan
kepercayaan ini, mereka mengenal berbagai upacara adat dengan berbagai sesajian
sebagai pelengkapnya.
Menurut ajaran Islam sesajian itu sebenarnya suatu hal
yang dapat dikatakan “syirik” tapi nyatanya di beberapa daerah kebudayaan tersebut
masih tetap berjalan.
Kepercayaan
seperti ini dapat ditemui apabila cara untuk bertindak atau tindakan dalam
menghadapi bahaya, menghindari bahaya, mencapai suatu maksud, juga ketika
terkejut dan lain-lainnya, sehingga dengan berbuat atau berkata sesuatu, maka
terhindarlah seseorang dari sesuatu bahaya. Sebagai contoh jika akan berjalan
jauh maka dipilih hari keberangkatan yang baik, yaitu hari Senin dan hari
Kamis, sedangkan hari patangan untuk bepergian adalah hari Selasa. Di kalangan
penduduk terdapat perhitungan waktu yang baik dan yang buruk. Ketika seseorang
akan berjalan jauh meninggalkan kampung halaman, agar ia tidak selalu rindu
terhadap kenangan kampung halaman, maka sebelum ia berangkat ia mengambil
sedikit tanah dari bawah tangga rumah, untuk dibawanya pergi. Dan jika
terdengar petir menyambar sekali dan sambung-menyambung (gontor tunggal), maka hal itu berarti akan dating penyakit
menular. Untuk menghindari penyakit itu, maka masyarakat lampung membakar
rumput-rumput setiap sore di bawah tangga rumah.
Secara
umum kita sudah mengetahui bahwa masyarakat Lampung memiliki karakteristik adat
budaya sendiri. Karakteristik adat budaya yang khas bagi masyarakat Lampung itu
tertuang dalam prinsip Pi’il Pesenggiri diartikan sebagai kehormatan diri, malu
bersalah , perasaan berharga atau harga diri. Pada dasarnya identitas orang
Lampung banyak sekali ditentukan oleh Pi’il
Pesenggiri. Sejauh mana Pi’il Pesenggiri
masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pi’il Pesenggiri disamping sebagai watak dan sifat orang
Lampung, juga merupakan pedoman hidup dan pandangan hidup orang Lampung. Untuk
menjaga harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam
pergaulannya senantiasa dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang
baik,benar, dan terpuji. Selain itu ada
beberapa prinsip hidup yang lainnya yang saling menunjang yaitu : Belujuk-Buadek
(bergelar adat atau bernama dan bergelar), Memui-Nyimah (ramah dan terbuka atau
peduli), Nengah-Nyappur (bermasyarakat dan berhaul , dan Sakay-Sambayan
(tolong- menolong).
Bagi
masyarakat muslim Lampung prinsip Pi’il Pesenggiri dilandasi oleh nilai dan
hukum Islam. Dalam Surat Ali Imran ayat 104 dijelaskan bahwa “Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang meyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang- orang yang
beruntung.” Hal ini tidak bisa disangkal
karena memang mayoritas masyarakat Lampung beragama Islam.
Sikap
masyarakat adalah suatu kesadaran masyarakat yang menentukan perbuatannya yang
nyata ataupun yang mungkin akan terjadi di dalam kegiatan sosial. Menjaga
kehormatan dalam pergaulan kemasyarakatan dengan selalu berlomba berbuat
kebaikan dan kebenaran yang berguna sesuai dengan nilai-nilai budaya yang
tercermin dalam konsep Pi’il Pesenggiri. Ini dapat dilihat dari nilai salah
satu kehormatan wanita adalah jika wanita itu menutup auratnya, bukan justru
membukanya agar menjadi perhatian. Masyarakat Lampung sangat menghayati Pi’il
Pesenggiri itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka masih merasakan bahwa bila Pi’il
Pesenggiri tidak selaras dengan suatu perbuatan, maka dengan spontan mereka
melakukan tindakan tanpa memikirkan akibat yang harus ditanggungnya. Demi
mempertahankan Pi’il Pesenggiri itu mereka melakukan tindakan yang main hakim
sendiri yang kadang-kadang diikuti dengan penuh penyesalan karena persoalan hal
yang sangat sepele. Tetapi demi Pi’il Pesenggiri itu, demi harga diri, tidak
segan-segan mereka melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan undang-undang
Negara.
Terjadinya
pembunuhan dengan dalih Pi’il Pesenggiri kadang-kadang diterima sebagai suatu
resiko yang harus terjadi tanpa penyesalan. Mendarah dagingnya Pi’il Pesenggiri
itu merupakan hasil sosialisasi yang berlangsung selama bertahun-tahun,
didukung oleh lingkungan yang kondusif. Meskipun secara alamiah tidak
diturunkan kepada generasi berikutnya tetapi dalam kenyataannya Pi’il
Pesenggiri itu akan diturunkan melalui kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang
didukung oleh penyelenggaraan adat yang masih dapat dilakukan.
Sebagai
contoh pada suatu ketika seorang suami sedang membonceng istrinya dengan sepeda
motor, ada seorang yang tersenyum kepada istrinya karena ia kenal dengan
istrinya, sedang si suami tidak kenal, dengan langsung ia turun dari sepeda
motornya dan mencegat orang itu. Ia mengatakan “mengapa tersenyum melihat istri
saya?”. Tentu saja orang itu akan minta maaf segera, karena jika tidak, akan
terjadi sesuatu yang tidak dinginkan. Tetapi jika bertemu sama-sama memegang Pi’il
Pesenggiri peristiwa itu akan lain. Dari hal yang sepele seperti ini demi Pi’il
Pesenggiri, mereka akan membuat persoalan menjadi besar.
Norma-norma
yang berisikan keharusan, larangan, anjuran dan kebolehan dapat digunakan
sebagai standar perilaku untuk dapat mempertahankan kehormatan diri dari
perbuatan tercela dalam setiap hal apapun. Bersaing secara jujur, tidak
menginjak harga diri orang lain, berprofesi dengan landasan moral dan kebenaran
merupakan prinsip hidup bagi orang-orang muslim. Lebih baik bekerja sampingan
sebagai sales daripada harus menghalalkan segala cara cemi status dan
kemasyhuran nama. Dengan demikian berarti Pi’il Pesenggiri pada hakikatnya
telah menunjukan apa yang disebut sebagai karakteristik adat budaya Lampung
pada umumnya.
Sumber
https://mobile.facebook.com/notes/lampung-institute-pusat-kajian-agama-dan-budaya/mengenal-islamisasi-adat-budaya-lampung/381210637921/?_rdr&refsrc=http%3A%2F%2Fmail.google.com%2Fmail%2Fu%2F0%2F
Sayuti, Husin. 1992. Pengetahuan
sikap dan persepsi mengenai Pi’il Pesenggiri pada masyarakat etnik suku Lampung
dalam Kodamadya Bandar Lampung. Universitas Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar