Nama :
Muhammad Firhat
Kelas :
15 SAS B
NIM :
2225152256
Program Studi :
Sastra Inggris – Universitas Negeri Jakarta
Mata Kuliah :
Budaya dan Kearifan Lokal
Setiap suku bangsa, sejak yang (tertutup) primitif sampai
yang (terbuka) masyarakat modern, mempunyai pandangan hidup sendiri, yang
berbeda antar suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Pandangan hidup ini
merupakan perpaduan dengan nilai-nilai yang dimiliki suatu suku bangsa yang
mereka yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad untuk mewujudkannya.
Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat,
yang disebut dengan adat Minangkabau. Ia merupakan aturan kehidupan masyarakat
Minang yang berdasarkan musyawarah dan mufakat secara turun-temurun. Adat
Minang mengatur tata nilai dalam kehidupan mulai dari hal yang kecil sampai ke
perihal yang lebih luas seperti politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Setelah Islam masuk ke tanah Minang pada tahun 1377, tata
nilai kehidupan masyarakatnya berubah dan dipengaruhi ajaran Islam. Rumusannya
tidak lagi didasarkan pada musyawarah dan mufakat, tetapi berdasarkan ketentuan
Allah dan Rasul-Nya. Namun yang harus dipahami adalah ketika Islam datang ke
Minangkabau tetap terjadi konflik antara adat dan Islam, namun kedua hal
tersebut lalu saling berintegrasi dan memunculkan suatu sistem adat yang baru.
Berikut ini adalah proses pengintegrasian adat Minang
dengan Islam:
- Tahap adat basandi alua jo patuik
dan syarak basandi jalil. Dalam tahap ini adat dan syariah agama
berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling memengaruhi.
Agama diamalkan dalam bidang akidah dan ibadah, sedangkan adat
diberlakukan dalam bidang sosial.
- Tahap adat basandi syarak dan syarak
basandi adat. Dalam tahap ini adat dan syariah sama-sama saling
membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.
Masyarakat Minangkabau mempunyai pandangan yang kuat
terhadap aturan adatnya juga suasana kehidupan bermasyarakatnya diliputi oleh
suasana religius yang kuat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa corak
filsafat Minangkabau sangat religius dalam artian Islam. Adapun corak filsafat
Minangkabau terdiri atas tiga jenis, yaitu:
- Falsafah yang tertinggi, yaitu
pandangan hidup yang mendasarkan diri pada ketentuan agama atau ketentuan hukum
mutlak. Karena itu falsafah ini bersifat objektif mutlak.
- Falsafah atau pandangan hidup yang
bersifat objektif terselubung. Objektif karena hukum alam bersumber dari
kekuatan gaib, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Terselubung berarti memerlukan
pemahaman orang arif bijaksana yaitu nenek moyang.
- Falsafah yang timbul dalam dan dari
otak manusia (filsuf). Betapapun sempurnanya manusia dalam berpikir secara
rasional, tetap saja terdapat berbagai keterbatasan. Oleh karena itu filsafat
ini sifatnya subjektif atau individual dan relatif.
Sebelum Islam datang, tata nilai kehidupan masyarakat
Minang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buddha. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya situs Candi Muara Takus di Riau. Akan tetapi kebudayaan Hindu
tidak membekas dalam kebudayaan Minang, dan ketentuan adatnya hanya didasarkan
pada kaidah-kaidah alam yang diformulasikan oleh pikiran manusia sehingga
terbentuk suatu pola tingkah laku yang benar menurut adat.
Ketentuan-ketentuan ini tertuang pada petatah petitih,
pantun, gurindam, dan sebagainya. Pada umumnya semua ini mengandung berbagai
aturan dan anjuran dalam bertingkah laku berdasarkan ketentuan alam secara
langsung melalui sebuah perumpamaan. Petatah petitih adat maksudnya, “Panakiak
pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kanyiru. Nan
satitik jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.”
Jadi sebelum agama Islam masuk, nenek moyang Minang telah
menjadikan hukum alam sebagai dasar adatnya. Segala sesuatu yang terjadi di
alam dijadikan sebagai panutan atau guru bagi kehidupan sehari-hari. Dibuat petatah petitih seperti: api panas dan
membakar, air membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun,
berbunga dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing
mengembik, harimau mengaum, dan sebagainya.
Apabila ditinjau dari khazanah adat istiadat Minangkabau,
yang mendasarkan diri pada ketentuan dari alam terutama sebelum agama Islam
datang, dapat digali unsur-unsur pemikiran filsafat Minangkabau adalah sebagai
berikut:
- Konsep manusia sebagai pribadi
Konsep ini merupakan pembahasan tentang hidup dan
kehidupan, baik yang menyangkut kepentingan jangka pendek maupun jangka
panjang, kehidupan kini dan yang akan datang, dan apa serta siapa manusia itu. Selanjutnya
konsep ini pun direduksi dan dicari jawabannya dari aspek konkret yang ada
dalam diri manusia, yaitu tingkah laku dan perbuatannya. Masyarakat Minang
mengelompokkan perbuatan manusia ke dalam dua hal. Yaitu perbuatan yang
disadari untuk pemenuhan kepentingan pribadi, dan untuk kepentingan sosial.
Mereka dengan jelas meletakkan konsep tentang manusia dalam sistem adat
istiadat.
- Konsep tentang masyarakat
Dalam memenuhi kepentingan hidupnya, seseorang memerlukan
bantuan orang lain sehingga ia mengikatkan diri pada kelompok masyarakat.
Kepentingan inilah yang merupakan dasar pembentuk sifat dan watak seseorang.
Dalam kebersamaan, ada jaminan terpenuhinya kepentingan diri sendiri. Akan
tetapi, sifat mementingkan diri sendiri ini tidak dapat berdiri sendiri, tidak
ada orang yang secara ekstrem dapat melepaskan hubungannya dari orang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pergaulan hidup terdapat dua
faktor yang penting dalam diri manusia yang perwujudannya tampak pada sikap dan
perbuatan sehari-hari. Adapun kedua faktor tersebut adalah:
- Usaha pemenuhan kepentingan diri
sendiri;
- Keharusan bekerja sama dengan orang
lain
Faktor-faktor di atas merupakan keharusan bagi manusia demi
keseimbangan antara hidup sebagai manusia yang individualistis dengan hidup
bermasyarakat.
- Konsep tentang etika
Masyarakat Minang menganut prinsip bahwa budi merupakan
landasan kejiwaan dalam setiap perbuatan dan kebahagiaan hanya dapat dicapai
apabila terdapat harmoni dalam empat hal, yaitu:
- Harmoni dengan diri sendiri
- Harmoni dengan sesama manusia
- Harmoni dengan alam yang nyata
- Harmoni dengan alam yang gaib
Harmoni hanya dapat dicapai apabila
segala perbuatan berlandaskan pada budi. Budi bagi masyarakat Minangkabau
merupakan sendi kehidupan. Mereka mengibaratkan budi sebagai sinar matahari
yang memancarkan sinar kehidupan pada alam sehingga kehidupan manusia menjadi
sejahtera, tetapi matahari tidak pernah menuntut balas atas jasa yang diberikan
pada manusia. Memang, budi dan kehalusan rasa bukanlah sesuatu yang ideal namun
sesuatu yang nyata yang dapat dilaksanakan oleh seorang manusia agar dapat
bermanfaat bagi orang lain.
- Konsep tentang alam semesta
Alam semesta merupakan suatu bukti kebesaran Tuhan.
Pandangan ini sebenarnya bersifat umum, yaitu berlaku untuk semua hal dan
keadaan. Keistimewaannya bagi masyarakat Minangkabau adalah hal inilah yang
dipakai sebagai landasan atas fatwa-fatwa adat yang ada. Alam menyimpan
ketentuan-ketentuan pokok yang kemudian oleh masyarakat Minangkabau dipakai
untuk pedoman hidup atau adat, antara lain sebagai berikut:
- Prinsip keseimbangan: ketentuan ini
menunjukkan sesuatu yang nyata berlaku secara imbang. Contohnya seseorang
yang berkedudukan tinggi, persoalan yang dihadapinya juga besar atau
banyak (gadang kayu, gadang dahannya)
- Prinsip penyesuaian: di dalam alam ini,
segala sesuatunya selain berjalan seimbang juga berjalan teratur sesuai
dengan hukumnya masing-masing.
- Prinsip kemanfaatan atau kegunaan,
bahwa di dalam alam segalanya mengandung manfaat, dari hal yang kecil
sampai hal yang besar.
5. Konsep tentang keutamaan hidup
Di dalam masyarakat Minangkabau, adat dan agama berjalan
seiring. Ada tiga macam syarat agar seseorang sempurna dalam tugas penghidupan
sehingga dapat mencapai keutamaan hidup. Ketiga syarat itu adalah beragama, beradat,
dan berpengetahuan. Ketiga syarat inilah yang disebut dengan tungku tiga sarajangan. Di dalam tungku tiga sarajangan, seseorang harus
dapat menjadi raja atau pemimpin bagi dirinya sendiri, yaitu menjadi rajo ibadat (raja ibadat), rajo adat (raja adat), rajo alam (raja alam), dengan
memanfaatkan semua hal yang berada di alam.
Masyarakat Minang memiliki suasana religius dan pandangan terhadap
adat yang kuat. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan adat berupa pepatah-pepatah
yang menyatakan:
Syara’ mangato, adat memaki.
Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.
Pepatah ini mengatakan bahwa hukum agama (syara’)
dilaksanakan oleh adat. Aturan adat bersendikan pada hukum agama (syara’) dan hukum agama bersendikan pada
kitab suci. Dengan kata lain bahwa aturan adat merupakan pelaksanaan atau
perwujudan hukum agama. Akulturasi antara adat dan agama ditandai dengan telah
dilembagakannya dua lembaga penting, yaitu figur ulama sebagai pemangku syara’
dan niniek mamak sebagai pemangku adat. Adat diibaratkan benteng
kehidupan masyatrakat Minangkabau, seperti kata pepatah: Belanda berbenteng
besi, Minang berbenteng adat.
Dapat ditarik kesimpulan
bahwa berdasarkan konsepsi dan sistem adat beserta falsafahnya, masyarakat
Minangkabau sangatlah menjaga hubungan diri dengan Tuhan, juga kepada sesama
manusia. Mereka percaya bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain, hal
tersebut tidak hanya berdampak baik bagi orang tersebut namun juga terhadap
dirinya sendiri. Itu sebabnya masyarakat Minangkabau selalu berusaha untuk
menciptakan harmoni positif bagi lingkungan. Selain itu mereka juga percaya
bahwa akal dan budi harus berjalan beriringan agar tercipta sebuah keseimbangan
dalam diri.
Daftar Pustaka:
Nuraeni, Heny Gustini, dan Muhammad Alfan.
2013. Studi Budaya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar