Rabu, 06 April 2016

KONSEPSI DASAR DAN FILSAFAT ADAT SUKU MINANGKABAU SUMATERA BARAT


Nama              : Muhammad Firhat
Kelas                : 15 SAS B
NIM                 : 2225152256
Program Studi : Sastra Inggris – Universitas Negeri Jakarta
Mata Kuliah    : Budaya dan Kearifan Lokal

Setiap suku bangsa, sejak yang (tertutup) primitif sampai yang (terbuka) masyarakat modern, mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda antar suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Pandangan hidup ini merupakan perpaduan dengan nilai-nilai yang dimiliki suatu suku bangsa yang mereka yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad untuk mewujudkannya.
Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat, yang disebut dengan adat Minangkabau. Ia merupakan aturan kehidupan masyarakat Minang yang berdasarkan musyawarah dan mufakat secara turun-temurun. Adat Minang mengatur tata nilai dalam kehidupan mulai dari hal yang kecil sampai ke perihal yang lebih luas seperti politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Setelah Islam masuk ke tanah Minang pada tahun 1377, tata nilai kehidupan masyarakatnya berubah dan dipengaruhi ajaran Islam. Rumusannya tidak lagi didasarkan pada musyawarah dan mufakat, tetapi berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Namun yang harus dipahami adalah ketika Islam datang ke Minangkabau tetap terjadi konflik antara adat dan Islam, namun kedua hal tersebut lalu saling berintegrasi dan memunculkan suatu sistem adat yang baru.
Berikut ini adalah proses pengintegrasian adat Minang dengan Islam:
  1. Tahap adat basandi alua jo patuik dan syarak basandi jalil. Dalam tahap ini adat dan syariah agama berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling memengaruhi. Agama diamalkan dalam bidang akidah dan ibadah, sedangkan adat diberlakukan dalam bidang sosial.
  2. Tahap adat basandi syarak dan syarak basandi adat. Dalam tahap ini adat dan syariah sama-sama saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.
Masyarakat Minangkabau mempunyai pandangan yang kuat terhadap aturan adatnya juga suasana kehidupan bermasyarakatnya diliputi oleh suasana religius yang kuat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa corak filsafat Minangkabau sangat religius dalam artian Islam. Adapun corak filsafat Minangkabau terdiri atas tiga jenis, yaitu:
  1. Falsafah yang tertinggi, yaitu pandangan hidup yang mendasarkan diri pada ketentuan agama atau ketentuan hukum mutlak. Karena itu falsafah ini bersifat objektif mutlak.
  2. Falsafah atau pandangan hidup yang bersifat objektif terselubung. Objektif karena hukum alam bersumber dari kekuatan gaib, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Terselubung berarti memerlukan pemahaman orang arif bijaksana yaitu nenek moyang.
  3. Falsafah yang timbul dalam dan dari otak manusia (filsuf). Betapapun sempurnanya manusia dalam berpikir secara rasional, tetap saja terdapat berbagai keterbatasan. Oleh karena itu filsafat ini sifatnya subjektif atau individual dan relatif.
Sebelum Islam datang, tata nilai kehidupan masyarakat Minang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buddha. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya situs Candi Muara Takus di Riau. Akan tetapi kebudayaan Hindu tidak membekas dalam kebudayaan Minang, dan ketentuan adatnya hanya didasarkan pada kaidah-kaidah alam yang diformulasikan oleh pikiran manusia sehingga terbentuk suatu pola tingkah laku yang benar menurut adat.
Ketentuan-ketentuan ini tertuang pada petatah petitih, pantun, gurindam, dan sebagainya. Pada umumnya semua ini mengandung berbagai aturan dan anjuran dalam bertingkah laku berdasarkan ketentuan alam secara langsung melalui sebuah perumpamaan. Petatah petitih adat maksudnya, “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kanyiru. Nan satitik jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.”
Jadi sebelum agama Islam masuk, nenek moyang Minang telah menjadikan hukum alam sebagai dasar adatnya. Segala sesuatu yang terjadi di alam dijadikan sebagai panutan atau guru bagi kehidupan sehari-hari. Dibuat petatah petitih seperti: api panas dan membakar, air membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun, berbunga dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing mengembik, harimau mengaum, dan sebagainya.
Apabila ditinjau dari khazanah adat istiadat Minangkabau, yang mendasarkan diri pada ketentuan dari alam terutama sebelum agama Islam datang, dapat digali unsur-unsur pemikiran filsafat Minangkabau adalah sebagai berikut:
  1. Konsep manusia sebagai pribadi
Konsep ini merupakan pembahasan tentang hidup dan kehidupan, baik yang menyangkut kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang, kehidupan kini dan yang akan datang, dan apa serta siapa manusia itu. Selanjutnya konsep ini pun direduksi dan dicari jawabannya dari aspek konkret yang ada dalam diri manusia, yaitu tingkah laku dan perbuatannya. Masyarakat Minang mengelompokkan perbuatan manusia ke dalam dua hal. Yaitu perbuatan yang disadari untuk pemenuhan kepentingan pribadi, dan untuk kepentingan sosial. Mereka dengan jelas meletakkan konsep tentang manusia dalam sistem adat istiadat.
  1. Konsep tentang masyarakat
Dalam memenuhi kepentingan hidupnya, seseorang memerlukan bantuan orang lain sehingga ia mengikatkan diri pada kelompok masyarakat. Kepentingan inilah yang merupakan dasar pembentuk sifat dan watak seseorang. Dalam kebersamaan, ada jaminan terpenuhinya kepentingan diri sendiri. Akan tetapi, sifat mementingkan diri sendiri ini tidak dapat berdiri sendiri, tidak ada orang yang secara ekstrem dapat melepaskan hubungannya dari orang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pergaulan hidup terdapat dua faktor yang penting dalam diri manusia yang perwujudannya tampak pada sikap dan perbuatan sehari-hari. Adapun kedua faktor tersebut adalah:
  1. Usaha pemenuhan kepentingan diri sendiri;
  2. Keharusan bekerja sama dengan orang lain
Faktor-faktor di atas merupakan keharusan bagi manusia demi keseimbangan antara hidup sebagai manusia yang individualistis dengan hidup bermasyarakat.
  1. Konsep tentang etika
Masyarakat Minang menganut prinsip bahwa budi merupakan landasan kejiwaan dalam setiap perbuatan dan kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila terdapat harmoni dalam empat hal, yaitu:
  1. Harmoni dengan diri sendiri
  2. Harmoni dengan sesama manusia
  3. Harmoni dengan alam yang nyata
  4. Harmoni dengan alam yang gaib
Harmoni hanya dapat dicapai apabila segala perbuatan berlandaskan pada budi. Budi bagi masyarakat Minangkabau merupakan sendi kehidupan. Mereka mengibaratkan budi sebagai sinar matahari yang memancarkan sinar kehidupan pada alam sehingga kehidupan manusia menjadi sejahtera, tetapi matahari tidak pernah menuntut balas atas jasa yang diberikan pada manusia. Memang, budi dan kehalusan rasa bukanlah sesuatu yang ideal namun sesuatu yang nyata yang dapat dilaksanakan oleh seorang manusia agar dapat bermanfaat bagi orang lain.
  1. Konsep tentang alam semesta
Alam semesta merupakan suatu bukti kebesaran Tuhan. Pandangan ini sebenarnya bersifat umum, yaitu berlaku untuk semua hal dan keadaan. Keistimewaannya bagi masyarakat Minangkabau adalah hal inilah yang dipakai sebagai landasan atas fatwa-fatwa adat yang ada. Alam menyimpan ketentuan-ketentuan pokok yang kemudian oleh masyarakat Minangkabau dipakai untuk pedoman hidup atau adat, antara lain sebagai berikut:
  1. Prinsip keseimbangan: ketentuan ini menunjukkan sesuatu yang nyata berlaku secara imbang. Contohnya seseorang yang berkedudukan tinggi, persoalan yang dihadapinya juga besar atau banyak (gadang kayu, gadang dahannya)
  2. Prinsip penyesuaian: di dalam alam ini, segala sesuatunya selain berjalan seimbang juga berjalan teratur sesuai dengan hukumnya masing-masing.
  3. Prinsip kemanfaatan atau kegunaan, bahwa di dalam alam segalanya mengandung manfaat, dari hal yang kecil sampai hal yang besar.
5.       Konsep tentang keutamaan hidup
Di dalam masyarakat Minangkabau, adat dan agama berjalan seiring. Ada tiga macam syarat agar seseorang sempurna dalam tugas penghidupan sehingga dapat mencapai keutamaan hidup.  Ketiga syarat itu adalah beragama, beradat, dan berpengetahuan. Ketiga syarat inilah yang disebut dengan tungku tiga sarajangan. Di dalam tungku tiga sarajangan, seseorang harus dapat menjadi raja atau pemimpin bagi dirinya sendiri, yaitu menjadi rajo ibadat (raja ibadat), rajo adat (raja adat), rajo alam (raja alam), dengan memanfaatkan semua hal yang berada di alam.
Masyarakat Minang memiliki suasana religius dan pandangan terhadap adat yang kuat. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan adat berupa pepatah-pepatah yang menyatakan:
Syara’ mangato, adat memaki.
Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.
Pepatah ini mengatakan bahwa hukum agama (syara’) dilaksanakan oleh adat. Aturan adat bersendikan pada hukum agama (syara’) dan hukum agama bersendikan pada kitab suci. Dengan kata lain bahwa aturan adat merupakan pelaksanaan atau perwujudan hukum agama. Akulturasi antara adat dan agama ditandai dengan telah dilembagakannya dua lembaga penting, yaitu figur ulama sebagai pemangku syara’ dan niniek mamak sebagai pemangku adat. Adat diibaratkan benteng kehidupan masyatrakat Minangkabau, seperti kata pepatah: Belanda berbenteng besi, Minang berbenteng adat.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan konsepsi dan sistem adat beserta falsafahnya, masyarakat Minangkabau sangatlah menjaga hubungan diri dengan Tuhan, juga kepada sesama manusia. Mereka percaya bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain, hal tersebut tidak hanya berdampak baik bagi orang tersebut namun juga terhadap dirinya sendiri. Itu sebabnya masyarakat Minangkabau selalu berusaha untuk menciptakan harmoni positif bagi lingkungan. Selain itu mereka juga percaya bahwa akal dan budi harus berjalan beriringan agar tercipta sebuah keseimbangan dalam diri.


Daftar Pustaka:

Nuraeni, Heny Gustini, dan Muhammad Alfan. 2013. Studi Budaya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar