Rabu, 06 April 2016

SISTEM KEKERABATAN SUKU SERAWAI

SISTEM KEKERABATAN SUKU SERAWAI





Nama              : Khalisha Breindra V.F.A
Kelas                : 15 SAS B
NIM                 : 2225155248
Program Studi : Sastra Inggris-FBS-UNJ
Mata Kuliah    : Budaya dan Kearifan Lokal
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Struktur-struktur kekerabatan mencakup kekeluargaan dan bentuk kelompok yang merupakan perluasan keluarga seperti suku atau klen.
Suku Serawai merupakan salah satu suku terbesar di Provinsi Bengkulu. Sebagian masyarakat Suku Serawai berdiam di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim yakni di Kabupaten Bengkulu Selatan.
Sistem kekerabatan lama pada masyarakat Suku Serawai adalah keluarga luas (klan) dan bilateral yaitu menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan ibu. Kekerabatan dalam masyarakat Suku Serawai terdiri dari beberapa keluarga batih junior (keluarga inti) dari keturunan mereka. Adat menetap di pihak laki-laki atau perempuan disebut ‘kulo’, yaitu perjanjian sebelum menikah untuk menentukan dimana mereka akan menetap selanjutnya setelah mereka menikah. Sifat bilateral hanya terlihat dalam menganut sistem perkawinan, tetapi biasanya dari garis keturunan diambil sifat patrilineal.
Keluarga batih senior (keluarga besar) atau bentuk kekerabatan yang bisa disebut junghai atau sepuyang ini terdiri dari beberapa keluarga yang terbentuk karena adanya hubungan genealogis dari seorang kakek yang sama, oleh sebab itu disebut ‘sepuyang’ mengingat ‘kakek’ dalam bahasa Serawai berarti ‘puyang’ maka arti ‘sepuyang’ adalah ‘se-kakek’ atau ‘satu kakek’.
Beberapa sepuyang bergabung dan bersatu menjadi keluarga besar yang di sebut jungku atau kepuyangan, mereka bisa bergabung karena mereka memiliki hubungan kakek buyut yang sama. Setiap sepuyang mempunyai pemimpin yang dipimpin oleh puyang tuo. Setiap jungku dipimpin oleh jungku tuo yang di pilih dan di angkat oleh para puyang tuo.
Sebuah kampung biasanya di diami oleh beberapa kepuyang atau jungku, dipimpin oleh satu junghai tuo, yang biasa mereka sebut sebagai junghangau dusun. Kekuasaan mereka dahulu dipakai untuk menyeselaikan masalah yang meliputi masalah religi, dan juga masalah adat.
Sebagai suku yang menganut sistem bilateral, cara pikir mereka soal hak pembagian harta warisan, masyarakat Suku Serawai cenderung melihat kulo terlebih dahulu. Perjanjian sebelum menikah itu mempengaruhi persoalan harta warisan. Jika kulonya merupakan kulo reto, yaitu seolah-olah suami telah membeli sang istri itu berarti sang istri sudah tidak ada hak lagi menjadi ahli waris dari harta orang tuanya karena seolah-olah hubungan orang tua dan anak sudah terputus. Jika sang suami meninggal dunia dan sang istri belum menikah lagi maka seluruh harta sang suami akan jatuh kepada sang istri, tetapi jika sang istri telah menikah lagi maka seluruh harta akan jatuh ketangan anak mereka.
Jika mereka menggunakan kulo semendo masuak kampung, yaitu istri seolah-olah telah membeli suami. Maka sang suami sudah tidak ada hak untuk mewarisi harta orangtuanya walaupun dia anak laki-laki. Yang berhak mewarisi hartanya adalah anak-anaknya.
Lalu kulo semendo merdiko, dalam hal ini sang istri maupun suami masih sama-sama mempunyai hak ahli waris. Jika terjadi perceraian, harta yang didapat bersama akan dibagi dua (harta gono-gini) dan yang bisa mewarisi harta mereka adalah anak mereka yang tidak kehilangan hak warisnya atau jika pasangan tersebut tidak mempunyai anak, harta bisa di wariskan kepada orangtua kedua belah pihak.
Kulo tidak hanya memperngaruhi soal cara pikir masyarakat terhadap pembagian harta warisan tetapi juga berpengaruh pada pembentukan karakteristik masyarakat Suku Serawai tersebut. Jika memakai kulo reto maka hubungan istri dengan orangtua serta saudara-saudaranya yang lain  juga terputus, mereka seperti asing dengan anak mereka sendiri. Sebelum berkunjung kerumah orangtuanya, ia harus meminta izin dulu kepada orangtuanya, jika boleh barulah ia datang kerumah orangtuanya. Hubungan suami dengan si orang tua mertua juga cenderung tidak akrab, ini lah yang membentuk karakter masyarakat Suku Serawai cukup keras.
Yang kedua kulo semendo masuak kampuang, yaitu pihak laki-laki lah yang terputus hubungannya dengan orangtuanya. Membuat hubungan ia dan istrinya menjadi tidak akrab dengan sang orang tua mertua. Tetapi lain hal dengan kulo semendo merdiko, kulo ini mengizinkan siapapun dan tidak ada hubungan yang diputus, oleh karena itu karakter masyarakat yang menganut kulo ini rata-rata lebih ramah dan lebih akrab dibanding orang-orang yang menganut kulo lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa sistem kekerabatan Suku Serawai adalah menganut sistem bilateral yang berarti tidak ada batasan dalam mengatur keluarga maupun dari pihak ayah atau ibu. Tetapi sifat bilateral hanya terlihat dalam menganut sistem perkawinan, tetapi biasanya dari garis keturunan diambil sifat patrilineal.




DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Dedi. 2014. “MAKALAH SISTEM KEKERABATAN.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar