SISTEM KEKERABATAN SUKU SERAWAI
Nama :
Khalisha Breindra V.F.A
Kelas : 15 SAS B
NIM : 2225155248
Program Studi : Sastra Inggris-FBS-UNJ
Mata Kuliah : Budaya dan Kearifan Lokal
Sistem
kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.
Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang
memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri
atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan
seterusnya. Struktur-struktur kekerabatan mencakup kekeluargaan dan bentuk
kelompok yang merupakan perluasan keluarga seperti suku atau klen.
Suku Serawai
merupakan salah satu suku terbesar di Provinsi Bengkulu. Sebagian masyarakat
Suku Serawai berdiam di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna,
dan Seginim yakni di Kabupaten Bengkulu Selatan.
Sistem
kekerabatan lama pada masyarakat Suku Serawai adalah keluarga luas (klan) dan bilateral
yaitu menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan ibu. Kekerabatan dalam
masyarakat Suku Serawai terdiri dari beberapa keluarga batih junior (keluarga
inti) dari keturunan mereka. Adat menetap di pihak laki-laki atau perempuan
disebut ‘kulo’, yaitu perjanjian sebelum menikah untuk menentukan dimana mereka
akan menetap selanjutnya setelah mereka menikah. Sifat bilateral hanya terlihat
dalam menganut sistem perkawinan, tetapi biasanya dari garis keturunan diambil
sifat patrilineal.
Keluarga batih
senior (keluarga besar) atau bentuk kekerabatan yang bisa disebut junghai atau
sepuyang ini terdiri dari beberapa keluarga yang terbentuk karena adanya
hubungan genealogis dari seorang kakek yang sama, oleh sebab itu disebut
‘sepuyang’ mengingat ‘kakek’ dalam bahasa Serawai berarti ‘puyang’ maka arti
‘sepuyang’ adalah ‘se-kakek’ atau ‘satu kakek’.
Beberapa
sepuyang bergabung dan bersatu menjadi keluarga besar yang di sebut jungku atau
kepuyangan, mereka bisa bergabung karena mereka memiliki hubungan kakek buyut
yang sama. Setiap sepuyang mempunyai pemimpin yang dipimpin oleh puyang tuo.
Setiap jungku dipimpin oleh jungku tuo yang di pilih dan di angkat oleh para
puyang tuo.
Sebuah kampung
biasanya di diami oleh beberapa kepuyang atau jungku, dipimpin oleh satu
junghai tuo, yang biasa mereka sebut sebagai junghangau dusun. Kekuasaan mereka
dahulu dipakai untuk menyeselaikan masalah yang meliputi masalah religi, dan
juga masalah adat.
Sebagai suku
yang menganut sistem bilateral, cara pikir mereka soal hak pembagian harta
warisan, masyarakat Suku Serawai cenderung melihat kulo terlebih dahulu.
Perjanjian sebelum menikah itu mempengaruhi persoalan harta warisan. Jika
kulonya merupakan kulo reto, yaitu seolah-olah suami telah membeli sang istri
itu berarti sang istri sudah tidak ada hak lagi menjadi ahli waris dari harta
orang tuanya karena seolah-olah hubungan orang tua dan anak sudah terputus. Jika
sang suami meninggal dunia dan sang istri belum menikah lagi maka seluruh harta
sang suami akan jatuh kepada sang istri, tetapi jika sang istri telah menikah
lagi maka seluruh harta akan jatuh ketangan anak mereka.
Jika mereka
menggunakan kulo semendo masuak kampung, yaitu istri seolah-olah telah membeli
suami. Maka sang suami sudah tidak ada hak untuk mewarisi harta orangtuanya
walaupun dia anak laki-laki. Yang berhak mewarisi hartanya adalah anak-anaknya.
Lalu kulo
semendo merdiko, dalam hal ini sang istri maupun suami masih sama-sama
mempunyai hak ahli waris. Jika terjadi perceraian, harta yang didapat bersama
akan dibagi dua (harta gono-gini) dan yang bisa mewarisi harta mereka adalah
anak mereka yang tidak kehilangan hak warisnya atau jika pasangan tersebut
tidak mempunyai anak, harta bisa di wariskan kepada orangtua kedua belah pihak.
Kulo tidak hanya
memperngaruhi soal cara pikir masyarakat terhadap pembagian harta warisan tetapi
juga berpengaruh pada pembentukan karakteristik masyarakat Suku Serawai
tersebut. Jika memakai kulo reto maka hubungan istri dengan orangtua serta
saudara-saudaranya yang lain juga
terputus, mereka seperti asing dengan anak mereka sendiri. Sebelum berkunjung
kerumah orangtuanya, ia harus meminta izin dulu kepada orangtuanya, jika boleh
barulah ia datang kerumah orangtuanya. Hubungan suami dengan si orang tua
mertua juga cenderung tidak akrab, ini lah yang membentuk karakter masyarakat
Suku Serawai cukup keras.
Yang kedua kulo
semendo masuak kampuang, yaitu pihak laki-laki lah yang terputus hubungannya
dengan orangtuanya. Membuat hubungan ia dan istrinya menjadi tidak akrab dengan
sang orang tua mertua. Tetapi lain hal dengan kulo semendo merdiko, kulo ini
mengizinkan siapapun dan tidak ada hubungan yang diputus, oleh karena itu
karakter masyarakat yang menganut kulo ini rata-rata lebih ramah dan lebih
akrab dibanding orang-orang yang menganut kulo lainnya.
Dapat
disimpulkan bahwa sistem kekerabatan Suku Serawai adalah menganut sistem
bilateral yang berarti tidak ada batasan dalam mengatur keluarga maupun dari
pihak ayah atau ibu. Tetapi sifat bilateral hanya terlihat dalam menganut
sistem perkawinan, tetapi biasanya dari garis keturunan diambil sifat
patrilineal.
DAFTAR PUSTAKA
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Sejarah
Daerah Bengkulu. Jakarta.
Mulyana, Dedi. 2014. “MAKALAH
SISTEM KEKERABATAN.”
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1990. Sistim Kesatuan Hidup Setempat
Daerah Bengkulu. Bengkulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar