SISTEM KEPERCAYAAN
MASYARAKAT MELAYU BELITUNG
Oleh :
HALIMAH CAHYANI PUTRI
(2225154138)
Lahir dari rumpun Melayu,
membuat masyarakat Melayu Belitung begitu mendasarkan aspek-aspek kehidupan mereka pada dasar-dasar yang telah lahir
di dalam tanah Melayu. Dalam tanah
Melayu dianggap bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai orang Melayu apabila
dalam pergaulannya memahami bahasa Melayu, adat istiadat Melayu, dan beragama
Islam, Dan pada syarat ketiga inilah dimana yang akan mempengaruh system kepercayaan
yang lahir pada masyarakat Melayu Belitung. Ada satu pendapat berkembang dalam
masyarakat Melayu, apabila ada seseorang yang masuk Islam maka orang tersebut
masuk menjadi Melayu. Dan apabila terjadi seseorang atau sekelompok orang
keluar dari agama Islam, maka orang atau kelompok tersebut dapat dikatakan
bukan lagi sebagai orang Melayu. Agama Islam yang dianut orang-orang Melayu
juga sangat luas pengaruhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena agama
Islam sendiri memberikan acuan-acuan hidup baik untuk di dunia maupun di
akhirat. Dan selanjutnya masyarakat Melayu berpendapat bahwa Islam identik
dengan Melayu. Beitupun di tanah Bangka Belitung, istilah Melayu sendiri
merajuk pada beberapa penafsiran antara lain, pertama merujuk pada mereka yang
beragama Islam. Dengan perujukan ini, maka siapa saja yang tergolong beragama
Islam dapat dikategorikan sebagai orang Melayu Belitung. Di Bangka setiap orang
yang masuk Islam, telah disunat atau dikhitan akan disebut masuk Melayu.
Selanutnya di Bangka ada orang Mapur (suku terasing) yang telah masuk kedalam
Islam telah menjadi bagian dari Melayu, sedangkan yang tidak beragama Islam
menyandang sebutan Lom (belum), yang artinya belum masuk Islam. Sehingga tentu
saja dengan rujukan ini orang China atau etnis Thiongkok yang masuk islam
secara ringan hati diterima di masyarakat sebagai orang Melayu Belitung.
Masyarakat
Melayu pada kehidupannya sehari-hari. Pada masa lalu sikap masyarakat yang
patuh dan taat pada ajaran Islam ini pernah dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk kepentingan penjajahan. Caranya dengan mempengaruhi para ulama
Melayu yang mau dibayar, sehingga apa yang disampaikan adalah seolah-olah
ajaran agama Islam, tetapi sesungguhnya adalah ajaran yang sudah terpengaruh
oleh kehendak pemerintah Hindia Belanda. Ajaran tersebut berusaha untuk
mengubah cara kerja orang Melayu yang tadinya ulet dan pekerja keras menjadi
orang yang pemalas. Ajaran tersebut berupa tipu daya dengan mengaburkan
pengertian amalan, bahwa hidup ini semata-mata hanyalah untuk beramal saja,
yakni memperbanyak sembahyang baik di masjid, surau, atau rumah. Selain itu
janganlah memperbanyak harta karena harta banyak mengandung setan dan daki
(kotoran) dunia. Lebih baik hidup sederhana saja, asal bisa makan dan minum sehari-hari.
Untuk apa pula mencari kekayaan dunia, karena sesungguhnya dunia ini adalah
milih orang-orang kafir. Bagi umat Islam yang terpenting adalah kehidupan di
akhirat. Sedangkan pengertian amalan sesungguhnya dalam Islam ialah sangat luas,
bukan hanya terpaku pada sembahyang atau mengaji, melainkan segala perbuatan
yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain serta dapat
melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah. Hasutan dan rayuan para penjajah
tersebut pada masa itu lama-kelamaan mempengaruhi pola hidup masyarakat Melayu.
Usaha yang gigih dari para penjajah ini alhasil membuat masyarakat Melayu yang
sebelumnya ulet dan gigih menjadi agak santai.
Menurut
pandangan orang Melayu, hidup di dunia ini adalah fitrah, baik buruknya
kehidupan tergantung pada seberapa banyak amalan yang telah kita perbuat.
Mereka pun percaya bahwa kita hidup dunia hanya semata-mata untuk mencari
kebahagiaan akhirat, sehingga antara kebutuhan jasmani dan rohani haruslah
berjalan beriringan. Karena konsep hidup masyarakat Melayu sendiri seperti kata
seorang petuah “bekerjalah kamu seakan hidup selamanya dan beribadahlah kamu
seakan mati esok”. Begitupun dalam memandang harta benda merekan hanya
mempercayai kepada yang halal, karena bagi mereka harta benda hanyalah titipan
Tuhan yang harus mereka jaga kebermanfaatannya,
Orang Melayu di
Bangka Belitung pun sangat mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala
hal. Begitupun pengambilan keputusan ini di dalam Islam sangatlah dianjurkan.
Masyarakat Melayu di Belitung juga sangat menjaga kepentingan moral mereka,
terutama dalam hal budi. Konsepsi budi sendiri menurut orang Melayu
mengutamakan sopan santun, bercakap tidak kasar (bahkan menegur orang pun
dengan menggunakan pantun), berbaju menutup aurat.
Melayu dan ajaran
Islamnya pun tercermin kuat di dalam kehidupan masyarakat Belitung yang juga
manaruhkan prinsip-prinsip islam tersebut di dalam setiap segi kehidupan
mereka. Namun hanya saja masyarakat Belitung memiliki citra keislaman yang
tidak seutuhnya sama dengan layaknya tanah Melayu. Hal ini dibuktikan dengan penghormatan
terhadap agama Islam, lewat tradisi-tradisi adat mereka tersendiri, seperti
halnya pada upacara Maras Taun, dimana mereka benar-benar berusaha untuk
menunjukan rasa syukur mereka kepada Allah S.W.T atas segala nikmat yang
diberikan lewat hasil padi yang melimpah ataupun tangkapan ikan yang bagus. Dan
tradisi Maras Taun itu sendiri hanyalah dimiliki oleh masyarakat Melayu di
Bangka Belitung.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar