Rabu, 06 April 2016

SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT MELAYU BELITUNG

SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT MELAYU BELITUNG





Oleh :
HALIMAH CAHYANI PUTRI
(2225154138)

            Lahir dari rumpun Melayu, membuat masyarakat Melayu Belitung begitu mendasarkan aspek-aspek kehidupan mereka pada dasar-dasar yang telah lahir di dalam tanah Melayu.  Dalam tanah Melayu dianggap bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai orang Melayu apabila dalam pergaulannya memahami bahasa Melayu, adat istiadat Melayu, dan beragama Islam, Dan pada syarat ketiga inilah dimana yang akan mempengaruh system kepercayaan yang lahir pada masyarakat Melayu Belitung. Ada satu pendapat berkembang dalam masyarakat Melayu, apabila ada seseorang yang masuk Islam maka orang tersebut masuk menjadi Melayu. Dan apabila terjadi seseorang atau sekelompok orang keluar dari agama Islam, maka orang atau kelompok tersebut dapat dikatakan bukan lagi sebagai orang Melayu. Agama Islam yang dianut orang-orang Melayu juga sangat luas pengaruhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena agama Islam sendiri memberikan acuan-acuan hidup baik untuk di dunia maupun di akhirat. Dan selanjutnya masyarakat Melayu berpendapat bahwa Islam identik dengan Melayu. Beitupun di tanah Bangka Belitung, istilah Melayu sendiri merajuk pada beberapa penafsiran antara lain, pertama merujuk pada mereka yang beragama Islam. Dengan perujukan ini, maka siapa saja yang tergolong beragama Islam dapat dikategorikan sebagai orang Melayu Belitung. Di Bangka setiap orang yang masuk Islam, telah disunat atau dikhitan akan disebut masuk Melayu. Selanutnya di Bangka ada orang Mapur (suku terasing) yang telah masuk kedalam Islam telah menjadi bagian dari Melayu, sedangkan yang tidak beragama Islam menyandang sebutan Lom (belum), yang artinya belum masuk Islam. Sehingga tentu saja dengan rujukan ini orang China atau etnis Thiongkok yang masuk islam secara ringan hati diterima di masyarakat sebagai orang Melayu Belitung.
            Masyarakat Melayu pada kehidupannya sehari-hari. Pada masa lalu sikap masyarakat yang patuh dan taat pada ajaran Islam ini pernah dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan penjajahan. Caranya dengan mempengaruhi para ulama Melayu yang mau dibayar, sehingga apa yang disampaikan adalah seolah-olah ajaran agama Islam, tetapi sesungguhnya adalah ajaran yang sudah terpengaruh oleh kehendak pemerintah Hindia Belanda. Ajaran tersebut berusaha untuk mengubah cara kerja orang Melayu yang tadinya ulet dan pekerja keras menjadi orang yang pemalas. Ajaran tersebut berupa tipu daya dengan mengaburkan pengertian amalan, bahwa hidup ini semata-mata hanyalah untuk beramal saja, yakni memperbanyak sembahyang baik di masjid, surau, atau rumah. Selain itu janganlah memperbanyak harta karena harta banyak mengandung setan dan daki (kotoran) dunia. Lebih baik hidup sederhana saja, asal bisa makan dan minum sehari-hari. Untuk apa pula mencari kekayaan dunia, karena sesungguhnya dunia ini adalah milih orang-orang kafir. Bagi umat Islam yang terpenting adalah kehidupan di akhirat. Sedangkan pengertian amalan sesungguhnya dalam Islam ialah sangat luas, bukan hanya terpaku pada sembahyang atau mengaji, melainkan segala perbuatan yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain serta dapat melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah. Hasutan dan rayuan para penjajah tersebut pada masa itu lama-kelamaan mempengaruhi pola hidup masyarakat Melayu. Usaha yang gigih dari para penjajah ini alhasil membuat masyarakat Melayu yang sebelumnya ulet dan gigih menjadi agak santai.
Menurut pandangan orang Melayu, hidup di dunia ini adalah fitrah, baik buruknya kehidupan tergantung pada seberapa banyak amalan yang telah kita perbuat. Mereka pun percaya bahwa kita hidup dunia hanya semata-mata untuk mencari kebahagiaan akhirat, sehingga antara kebutuhan jasmani dan rohani haruslah berjalan beriringan. Karena konsep hidup masyarakat Melayu sendiri seperti kata seorang petuah “bekerjalah kamu seakan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan mati esok”. Begitupun dalam memandang harta benda merekan hanya mempercayai kepada yang halal, karena bagi mereka harta benda hanyalah titipan Tuhan yang harus mereka jaga kebermanfaatannya,
Orang Melayu di Bangka Belitung pun sangat mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala hal. Begitupun pengambilan keputusan ini di dalam Islam sangatlah dianjurkan. Masyarakat Melayu di Belitung juga sangat menjaga kepentingan moral mereka, terutama dalam hal budi. Konsepsi budi sendiri menurut orang Melayu mengutamakan sopan santun, bercakap tidak kasar (bahkan menegur orang pun dengan menggunakan pantun), berbaju menutup aurat.
Melayu dan ajaran Islamnya pun tercermin kuat di dalam kehidupan masyarakat Belitung yang juga manaruhkan prinsip-prinsip islam tersebut di dalam setiap segi kehidupan mereka. Namun hanya saja masyarakat Belitung memiliki citra keislaman yang tidak seutuhnya sama dengan layaknya tanah Melayu. Hal ini dibuktikan dengan penghormatan terhadap agama Islam, lewat tradisi-tradisi adat mereka tersendiri, seperti halnya pada upacara Maras Taun, dimana mereka benar-benar berusaha untuk menunjukan rasa syukur mereka kepada Allah S.W.T atas segala nikmat yang diberikan lewat hasil padi yang melimpah ataupun tangkapan ikan yang bagus. Dan tradisi Maras Taun itu sendiri hanyalah dimiliki oleh masyarakat Melayu di Bangka Belitung.
           
Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar