Rabu, 06 April 2016

Gaya Pacaran Pemuda-pemudi Gayo Lues Tempo Dulu


Oleh: Sarah Nadiah Hanifah
(15 Sastra B - 2225153321)


Suku Gayo  merupakan suku paling tua di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku ini mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah dan beberapa bagian di timur. Suku ini seperti suku-suku di Aceh pada umumnya didominasi oleh pengaruh islam yang amat kuat sehingga ini juga tercermin pada adat-adatnya, salah satunya adalah gaya berpacaran.
Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues tidak dikenal pergaulan bebas antara muda-mudi. Hal ini disebabkan peranan adat dan agama cukup dominan, sehingga pacaran tidak dapat dilakukan dengan terang-terangan. Maka dikenal lah istilah bebiak atau belewen yang merupakan tahapan dari proses panjang gaya pacaran itu sendiri.
Laki-laki Suku Gayo dilarang untuk menikahi gadis dari sesama kampungnya. Bagi mereka, orang-orang di kampungnya adalah saudara, maka dilarang untuk menikahi salah satu gadisnya. Oleh karena itu, laki-laki dari suatu kampung biasanya pergi ke kampung lain untuk mencari pacar, dan mereka pergi secara berkelompok. Berikut adalah tahapan tahapan bebiak/belewen:

1.       Nosan Reta
Tahap ini dilakukan dengan cara para lelaki membentuk tim, lalu mengumpulkan reta atau rupiah Belanda sejumlah anggota tim yang dibungkus dengan saputangan. Reta ini kemudian diletakkan di tempat yang mudah terlihat oleh kumpulan gadis-gadis yang dituju. Jika reta sudah diterima, sang gadis akan memberi kode dari pantulan cermin dan tim lelaki tadi akan membunyikan peluit lalu pulang.
2.       Ngirim
Pada tahap ini terjadi kirim mengirim yang dimulai oleh pihak lelaki. Isinya seperti roti, permen, kue, alat kecantikan sampai uang ala kadarnya. Sang gadis lalu membalas dengan makanan buatannya. Kiriman ini dikirim melalui kurir yang ditunjuk sang gadis atau ditempatkan di tempat tertentu.
3.       Nrojok
Pada tahap ini rombongan tim lelaki mendatangi rumah sang gadis pada malam hari. Ia merayu sang gadis untuk turun lewat berbalas pantun dan berbisik-bisik. Namun dengan alasan keamanan, bujukan tersebut akan ditolak halus.

4.       Bedemu
Pada tahapan ini, ajakan untuk turun dan bertemu sang lelaki dipenuhi sang gadis. Sang gadis membekali dirinya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan lalu mojok bersama sang lelaki tidak jauh dari tempatnya dengan waktu terbatas.
5.       Gunter
Gunter adalah peristiwa geger. Pada tahap bedemu, salah seorang gadis tidak kembali ke tempat asalnya, tetapi ke rumah penghulu atau imem kampung pacarnya dibekali barang pacarnya yang mudah dikenali dengan tujuan minta dinikahi oleh pacarnya. Kemudian pihak adat dari kampung pemuda datang memberi kabar (nangon sipet) dan geger pun berakhir. Kemudian kedua pihak adat bertemu dan mengembalikan reta, dilanjutkan proses pernikahan.

                Namun seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, Gaya berpacran di suku Gayo pun dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Setelah mda-mudi Gayo berseolah, pacaran dilakukan dengan surat-suratan kepada satu sama lain. Yang menyampaikan juga melalui kurir. Bisa juga dimasukkan kdalam kotak koreak api. Lalu, dilemparkan di hadapan sang pacar seraya melewatinya.
                Dengan ditemukannya perangkat komunikasi yang canggih lagi, seprti telepon genggam, makan gaya pacaran mengalami kemajuan yang jauh lebih pesat.
                Namun tetap saja pergaulan bebas seperti di kota besar tidak dibenarkan karena pengaruh agama islam dan adat yang kuat di masyarakat Gayo. Oleh karena itu, siapa pun yang berpacaran dengan gadis dari suku Gayo pasti akan mengalami kesulitan untuk mengunjungi rumah pacarnya.
Secara keseluruhan, Gaya pacaran suku Gayp tempo dulu ini terbilang cukup unik, lucu dan penuh tantangan. Masyarakat modern di kota-kota besar cenderung cukup bebas sudah dipastikan tidak mengenal mengenalnya.  Suku Gayo yang hidup dalam lingkup hukum adat dan pengaruh islam yang kuat, maka tidak mengherankan apabila mereka menjalankan gaya berpacaran seperti diatas.



Daftar pustaka:
Said, Syamsuddin. 2015. Njaing. Banten : Mahara Publishing
Tantawi,Isma. 2011.  Pilar-pilar kebudayaan kebudayaan Gayo Lues. Medan : USU Press

http://lintasgayo.co/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar