Nama
/ NIM : Olga Josephine / 2225153450
Kelas : 15 SAS B
Mata
Kuliah : Budaya dan Kearifan Lokal
Suku
Betawi adalah sebuah suku yang penduduknya mayoritas bertempat di DKI Jakarta,
Indonesia. Secara administratif, masyarakat Betawi tersebar di DKI Jakarta,
kabupaten Tangerang, kabupaten Bekasi, kotamadia Depok, dan kabupaten Bogor.
Suku Betawi muncul dan berkembang sebagai hasil dari perkawinan antaretnis dan
bangsa yang didatangkan Belanda Portugis pada masa lampau. Masa ini, mayoritas masyarakat Betawi menganut agama
Islam, dan sebagian kecil dari mereka menganut agama Kristen, Katolik, Hindu,
dan Budha.
Menurut
Yahya Andi Saputra (peneliti kebudayaan), sekitar abad ke dua tanah Betawi
merupakan kekuasaan kerajaan Salakanegara. Kerajaan ini terletak di bawah kaki
Gunung Salak dan dipimpin oleh Prabu
Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara atau disebut Raja Dewawarman I. Kerajaan
Salakanegara menganut agama
peningggalan nenek moyang, sehingga tak terelakkan bahwa masyarakat Betawi juga
menganut dan mempercayai agama nenek moyang tersebut.
Kepercayaan nenek moyang yang dianut mengajarkan
tentang kekuasaan yang berada diatas segala kuasa di dunia ini. Kepercayaan ini
juga mengajarkan mengajarkan agar manusia juga melakukan Upawasa, Upawasa dalam
Bahasa Kawi memiliki arti “Puasa”. Upawasa dijalani selama 41 hari, dan hari
ke-41 disebut sebagai hari penutup. Tumpal merupakan lambang dari kepercayaan
nenek moyang ini. Tumpal sendiri adalah bentuk motif geometris segitiga sebagai
barisan pada kain. Motif ini memiliki fungsi magis dan sesuai dengan konsep
kesatuan kosmos, mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos yang dapat
diterjemahkan sebagai penggambaran dari yang bersifat keduniaan menuju kepada
ketuhanan.
Masuknya pengaruh Hindu Budha di Betawi dimulai sejak
kedatangan orang – orang India pada abad pertama tarikh masehi. Mereka berasal dari
daerah India Selatan dan India Timur seperti Benggala. Dengan keberadaan
orang-orang India di tanah Betawi meruntuhkan sistem kepercayaan animisme-dinamisme
nenek moyang dan digantikan dengan Hindu Budha yang secara perlahan menjadi
keyakinan baru masyarakat Betawi. Golongan yang pertama kali masuk adalah
golongan pedagang namun pada perkembangnya golongan Brahmana dan pendeta juga
ikut berperan dalam penyebaran agama Hindu Budha di tanah Betawi.
Permulaan penyebaran agama Islam di Betawi dimulai pada abad
ke 15 saat daerah Betawi masih disebut Sunda Kelapa. Menurut
budayawan Betawi Ridwan Saidi, Syekh Hasanuddin (Syekh Quro) yang
datang dari Champa (Kamboja) adalah pelopor penyebaran agama Islam
di Sunda Kelapa. Awalnya, Syekh Hasanuddin bermaksud datang ke Jawa untuk
berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, ia urung
meneruskan perjalanannya ke timur, kemudian menikah dengan seorang gadis
Karawang dan mendirikan pesantren. Seorang santri
Pesantren Quro yang benama Nyai Subang Larang dipersunting Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan mereka, lahirlah Kian Santang yang di kemudian hari
menyebarluaskan agama Islam.
Kian Santang terkenal dengan dakwahnya, karena itu, sekalipun
berasal dari Sunda, ia mendapat tempat di hati orang Betawi.
Pada saat itu tanah Betawi berada dibawah pemerintahan
Kerajaan Padjajaran. Penyebaran Islam mendapat
tantangan keras dari bangsawan Kerajaan Pajajaran dan para resi. Naskah Carios
Parahiyangan menyebutkan, penyebaran Islam di bumi Sunda Kelapa diwarnai
dengan 15 peperangan. Penguasa Padjajaran, ketika itu menyebut masyarakat
Betawi yang menganut agama Islam sebagai kaum langgara. Langgara berasal dari bahasa
Sanskerta yang memiliki arti orang-orang yang telah berubah atau beralih
kepercayaan. Tempat beribadah (shalat) mereka disebut Langgar dan hingga saat
ini, masyarakat Betawi masih menggunakan istilah Langgar sebagai padanan dari Mushola.
Dalam proses Islamisasi suku Betawi, terdapat tujuh wali
Betawi atau biasa disebut Wali Pitu. Tujuh wali yang dimaksud antara lain
Pangeran Darmakumala, Kumpi Datuk, Habib Sawangan, Ema Datuk, Datuk
Ibrahim, Pangeran Papak, dan Ki Aling. Ketujuh Wali tersebut menurut
Ridwan Saidi hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.
Di antara masyarakat Betawi yang beragama Kristen menyatakan
bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis yang pada dasarnya menganut agama Kristen. Hal ini dapat
dikatakan wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, Raja Padjajaran pada
saat itu mengadakan perjanjian dengan bangsa Portugis yang mengizinkan Portugis
membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Hal ini menjadi dasar
terbentuknya komunitas Portugis di Sunda Kelapa.
Bagi masyarakat Betawi pada umumnya, agama Islam
adalah agama utama. Suku Betawi mengajarkan mengaji dan norma-norma dalam Islam
kepada anak sejak usia dini yang bertujuan agar kelak menjadi orang Betawi yang
taat beragama. Oleh karena itu, tingkah laku serta cara pandang mereka pada
umumnya berpusat pada agama Islam. Hal ini juga dapat dilihat dari kebudayaan
Betawi yang dipengaruhi oleh nilai nilai Islami seperti Nujuh Bulanan. Nujuh
Bulanan dilakukan masyarakat Betawi bila ada anak perempuan yang telah
berkeluarga sedang mengandung dalam usia kandungan tujuh bulan. Acara ini
dilaksanakan dengan pembacaan doa, surat Maryam ataupun surat Yusuf agar sang
Ibu serta janin sehat. Selain Nujuh Bulanan, ada pula Akeke (Aqiqah) yang
dilaksanakan dengan pembacaan maulid
Al-Barjanzi, Rebana Maulid dan Rebana Ngarak
beserta shalawatan.
Di samping agama yang begitu kuat, ada
kepercayaan lain yang melekat dan cukup berpengaruh dalam membentuk kepribadian
masyarakat Betawi. Kepercayaan yang dimaksud adalah takhayul. Takhayul sendiri
memiliki arti (sesuatu yang) hanya ada dalam khayal belaka. Banyak takhayul
yang beredar, biasanya diucapkan orangtua sembari memberi nasihat pada anaknya,
salah satunya adalah: kalau makan ngga dihabisin, nanti gede
suami/istrinya bopeng. Hal ini
sebenarnya bertujuan agar sang anak segera menghabiskan makanan dan tidak
membuang buang makanan yang telah diambilnya. Namun karena nasihat itu
diberikan dalam bentuk takhayul, banyak yang tidak mengerti apa makna
sebenarnya dan malah cenderung takut dan berpemahaman keliru. Seiring
berkembangnya pola pikir masyarakat, kepercayaan rakyat ini perlahan – lahan
mulai ditinggalkan.
Keberagaman etnis dan
kepercayaan dalam masyarakat Betawi merupakan landasan dan pembentuk karakter dari
suku itu sendiri. Perbedaan yang ada tidak membuat masyarakatnya terpecah
belah, melainkan menjadi satu, saling melengkapi, dan hidup berdampingan secara
harmonis. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa suku Betawi adalah suku yang berjiwa sosial, sangat menghargai
pluralism serta menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam sendi-sendi kehidupannya.
Sources:
·
Lohanda, Mona. 1984. Sejarah Sosial di Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta Raya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·
Mita, Purbasari. 2010. Indahnya
Betawi. Jurnal Humaniora, 01
(01). ISSN 2087-1236
- Hendrianto, Ricky. 2012. Proses
dan Pertumbuhan Sosial Suku Betawi. Makalah Sosiologi
- http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Agama_dan_Kepercayaan_Masyarakat_Betawi
- http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Pengaruh_Islam_terhadap_Kebudayaan_Betawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar