Rabu, 06 April 2016

Kepercayaan Suku Betawi

Nama / NIM    : Olga Josephine / 2225153450
Kelas               : 15 SAS B
Mata Kuliah    : Budaya dan Kearifan Lokal

Suku Betawi adalah sebuah suku yang penduduknya mayoritas bertempat di DKI Jakarta, Indonesia. Secara administratif, masyarakat Betawi tersebar di DKI Jakarta, kabupaten Tangerang, kabupaten Bekasi, kotamadia Depok, dan kabupaten Bogor. Suku Betawi muncul dan berkembang sebagai hasil dari perkawinan antaretnis dan bangsa yang didatangkan Belanda Portugis pada masa lampau. Masa ini, mayoritas masyarakat Betawi menganut agama Islam, dan sebagian kecil dari mereka menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.

Menurut Yahya Andi Saputra (peneliti kebudayaan), sekitar abad ke dua tanah Betawi merupakan kekuasaan kerajaan Salakanegara. Kerajaan ini terletak di bawah kaki Gunung Salak dan dipimpin oleh Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara atau disebut Raja Dewawarman I. Kerajaan Salakanegara menganut agama peningggalan nenek moyang, sehingga tak terelakkan bahwa masyarakat Betawi juga menganut dan mempercayai agama nenek moyang tersebut.

Kepercayaan nenek moyang yang dianut mengajarkan tentang kekuasaan yang berada diatas segala kuasa di dunia ini. Kepercayaan ini juga mengajarkan mengajarkan agar manusia juga melakukan Upawasa, Upawasa dalam Bahasa Kawi memiliki arti “Puasa”. Upawasa dijalani selama 41 hari, dan hari ke-41 disebut sebagai hari penutup. Tumpal merupakan lambang dari kepercayaan nenek moyang ini. Tumpal sendiri adalah bentuk motif geometris segitiga sebagai barisan pada kain. Motif ini memiliki fungsi magis dan sesuai dengan konsep kesatuan kosmos, mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos yang dapat diterjemahkan sebagai penggambaran dari yang bersifat keduniaan menuju kepada ketuhanan.

Masuknya pengaruh Hindu Budha di Betawi dimulai sejak kedatangan orang – orang India pada abad pertama tarikh masehi. Mereka berasal dari daerah India Selatan dan India Timur seperti Benggala. Dengan keberadaan orang-orang India di tanah Betawi meruntuhkan sistem kepercayaan animisme-dinamisme nenek moyang dan digantikan dengan Hindu Budha yang secara perlahan menjadi keyakinan baru masyarakat Betawi. Golongan yang pertama kali masuk adalah golongan pedagang namun pada perkembangnya golongan Brahmana dan pendeta juga ikut berperan dalam penyebaran agama Hindu Budha di tanah Betawi.

Permulaan penyebaran agama Islam di Betawi dimulai pada abad ke 15 saat daerah Betawi masih disebut Sunda Kelapa. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, Syekh Hasanuddin (Syekh Quro) yang datang dari Champa (Kamboja) adalah pelopor penyebaran agama Islam di Sunda Kelapa. Awalnya, Syekh Hasanuddin bermaksud datang ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, ia urung meneruskan perjalanannya ke timur, kemudian menikah dengan seorang gadis Karawang dan mendirikan pesantren. Seorang santri Pesantren Quro yang benama Nyai Subang Larang dipersunting Prabu Siliwangi. Dari pernikahan mereka, lahirlah Kian Santang yang di kemudian hari menyebarluaskan agama Islam. Kian Santang terkenal dengan dakwahnya, karena itu, sekalipun berasal dari Sunda, ia mendapat tempat di hati orang Betawi.

Pada saat itu tanah Betawi berada dibawah pemerintahan Kerajaan Padjajaran. Penyebaran Islam mendapat tantangan keras dari bangsawan Kerajaan Pajajaran dan para resi. Naskah Carios Parahiyangan menyebutkan, penyebaran Islam di bumi Sunda Kelapa diwarnai dengan 15 peperangan. Penguasa Padjajaran, ketika itu menyebut masyarakat Betawi yang menganut agama Islam sebagai kaum langgara. Langgara berasal dari bahasa Sanskerta yang memiliki arti orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan. Tempat beribadah (shalat) mereka disebut Langgar dan hingga saat ini, masyarakat Betawi masih menggunakan istilah Langgar sebagai padanan dari Mushola.

Dalam proses Islamisasi suku Betawi, terdapat tujuh wali Betawi atau biasa disebut Wali Pitu. Tujuh wali yang dimaksud antara lain Pangeran Darmakumala, Kumpi Datuk, Habib Sawangan, Ema Datuk, Datuk Ibrahim, Pangeran Papak, dan Ki Aling. Ketujuh Wali tersebut menurut Ridwan Saidi hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.

Di antara masyarakat Betawi yang beragama Kristen menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang pada dasarnya menganut agama Kristen. Hal ini dapat dikatakan wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, Raja Padjajaran pada saat itu mengadakan perjanjian dengan bangsa Portugis yang mengizinkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Hal ini menjadi dasar terbentuknya komunitas Portugis di Sunda Kelapa.

Bagi masyarakat Betawi pada umumnya, agama Islam adalah agama utama. Suku Betawi mengajarkan mengaji dan norma-norma dalam Islam kepada anak sejak usia dini yang bertujuan agar kelak menjadi orang Betawi yang taat beragama. Oleh karena itu, tingkah laku serta cara pandang mereka pada umumnya berpusat pada agama Islam. Hal ini juga dapat dilihat dari kebudayaan Betawi yang dipengaruhi oleh nilai nilai Islami seperti Nujuh Bulanan. Nujuh Bulanan dilakukan masyarakat Betawi bila ada anak perempuan yang telah berkeluarga sedang mengandung dalam usia kandungan tujuh bulan. Acara ini dilaksanakan dengan pembacaan doa, surat Maryam ataupun surat Yusuf agar sang Ibu serta janin sehat. Selain Nujuh Bulanan, ada pula Akeke (Aqiqah) yang dilaksanakan dengan pembacaan maulid Al-Barjanzi, Rebana Maulid dan Rebana Ngarak beserta shalawatan.

Di samping agama yang begitu kuat, ada kepercayaan lain yang melekat dan cukup berpengaruh dalam membentuk kepribadian masyarakat Betawi. Kepercayaan yang dimaksud adalah takhayul. Takhayul sendiri memiliki arti (sesuatu yang) hanya ada dalam khayal belaka. Banyak takhayul yang beredar, biasanya diucapkan orangtua sembari memberi nasihat pada anaknya, salah satunya adalah: kalau makan ngga dihabisin, nanti gede suami/istrinya bopeng. Hal ini sebenarnya bertujuan agar sang anak segera menghabiskan makanan dan tidak membuang buang makanan yang telah diambilnya. Namun karena nasihat itu diberikan dalam bentuk takhayul, banyak yang tidak mengerti apa makna sebenarnya dan malah cenderung takut dan berpemahaman keliru. Seiring berkembangnya pola pikir masyarakat, kepercayaan rakyat ini perlahan – lahan mulai ditinggalkan.

Keberagaman etnis dan kepercayaan dalam masyarakat Betawi merupakan landasan dan pembentuk karakter dari suku itu sendiri. Perbedaan yang ada tidak membuat masyarakatnya terpecah belah, melainkan menjadi satu, saling melengkapi, dan hidup berdampingan secara harmonis. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa suku Betawi adalah suku yang berjiwa sosial, sangat menghargai pluralism serta menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam sendi-sendi kehidupannya.


Sources:
·         Lohanda, Mona. 1984. Sejarah Sosial di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·         Mita, Purbasari. 2010. Indahnya Betawi. Jurnal Humaniora, 01 (01). ISSN 2087-1236

Tidak ada komentar:

Posting Komentar