Rabu, 06 April 2016

Sistem Lingkar Hidup dan Adat Suku Sakai

Nama    : Andhika Setia Pratama                             
Kelas    : 15 SAS B
NIM     : 2225153278



Dalam kehidupan orang Sakai Sakai dikenal dengan adanya tiga tahap yang penting dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) Tahap hamil dan melahirkan anak; (2) Perkawinan; dan (3) Kematian.
Sebuah keluarga Orang Sakai biasanya terdiri atas suami dan istri beserta dengan anak atau anak – anak mereka yang belum menikah. Keluarga tersebut dinamakan “keluarga inti” atau “keluarga batih”. Ada pun “keluarga luas” dalam Suku Sakai apabila ditambah dengan anggota keluarga lainnya (yaitu bapak atau ibu dari pihak suami atau istri, kemenakan yang belum kawin).
Ketiga tahap yang telah disebutkan tersebut dianggap penting bagi Suku Sakai karena merupakan puncak – puncak peristiwa kehidupan manusia dan nasib kehidupannya, tetapi juga dianggap sebagai tahap – tahap yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia yang menjalaninya. Karena itu diadakan sejumlah upacara – upacara dengan tujuan agar dalam peristiwa – peristiwa tersebut si pelaku yang menjalaninya dengan baik.
1.   Hamil dan Melahirkan Bayi
     Bila ada seorang istri yang hamil maka dukun yang biasanya diperankan oleh wanita tua yang sudah biasa membantu kelahiran bayi akan memberikan pantangan – pantangan.
1.      Tidak melanggar ketentuan – ketentan dalam berladang. Salah satu contohnya adalah sebuah ladang harus jelas bagian muka (ekor lading) dan bagian belakang (kepala ladangnya).
2.      Dilarang melakukan hubungan kelamin dengan orang yang dianggap sebagai adik kandung termasuk saudara sepupu, melempar kucing ke luar rumah atau sebaliknya melempar kucing dari tanah ke dalam rumah, kain cucian basah bibawa masuk ke dalam rumah atau sebaliknya.
3.      Dan yang terakhir adalah tidak boleh menyiksa binatang.
Pada waktu seorang anak berusia dua belas tahun dia disunat. Cara penyunatan pun dilakukan dengan cara yang lazim dilakukan oleh Orang Islam setelah diterimanya ajaran Agama Islam dalam kehidupan Orang Sakai.
2. Perkawinan
     Menurut kebudayaan Orang Sakai setiap orang boleh kawin dengan siapa saja kecuali dengan orang yang digolongkan sebagai anggota keluarganya. Diantaranya adalah : Ibu, Ibu angkat, Ibu tiri, Bapak, Bapak angkat, Bapak tiri, Saudara sekandung, anak, dan saudara sepupu menurut garis pararel (“pararel cousin”).
     Dalam kebudayaan Orang Sakai ada juga perkawinan dimana pihak laki – laki sudah mempunyai istri, sehingga mewujudkan keluarga yang poligami. Perkawinan poligini pun tidak dilarang dalam kebudayaan Orang Sakai namun jarang terjadi karena pembiayaannya yang mahal dan juga tidak memungkinkan bahwa perkawinan poligini dapat berlangsung dengan baik. Perkawinan antara bujang dengan gadis biasanya diawali dengan suatu masa pertunangan, apabila tidak maka yang mereka lakukan adalah kawin lari. Sebelum dilakukan pertunangan biasanya mereka sudah saling mengenal terlebih dahulu. Bila hubungan mereka tampak oleh orang tua mereka masing - masing maka biasanya orang tua si bujang menyuruh si bujang untuk melamar. Ada dua cara menurut kebudayaan Orang Sakai. Pertama, dia sendiri datang menemui orang tua si gadis yang dicintainya dan mengatakan kepada mereka bahwa dia bermaksud memperistri gadis tersebut. Kedua, bila dia merasa malu, atau segan, dia dapat meminta tolong kepada orang tuanya untuk dicarikan seorang kerabatnya yang patut untuk didatangkan ke rumah si gadis dan biasanya adalah seorang perempuan tua.
     Proses upacara pertunangan Orang Sakai berlansung sederhana. Perempuan tua tersebut langsung menghubungi orang tua gadis dan membawa sirih pinang selanjutnya. Setelah selesai memakan sirih si perempuan pun menyerahkan barang – barang bawaanya. Barang – barang tersebut terdiri atas : (1) tempat tidur dari besi (“ranjang kero”); (2) gelang dan cincin yang terbuat dari perak; (3) radio atau radio-rekorder. Bila barang sudah diterima maka akan ditentukan waktu terbaik untuk melaksanakan pernikahan. Biasanya dua bulan setelah dilakukannya serah terima barang tersebut.
2.1. Penyerahan Mas Kawin oleh Pihak Keluarga Laki – Laki
     Mas Kawin tersebut terdiri atas : (1) sebuah mata uang perak riyal; (2) kain baju sepersalinan lengkap; (3) sepotong pakaian untuk dipakai sehari – hari; (4) Sebuah cincin atau gelang yang terbuat dari perak. Penyerahan mas kawin dilakukan di rumah “batin” (kepala suku)
2.2. Upacara Pengesahan Perkawinan
     Upacara didahului dengan dibuatnya gambar orang – orangan (seorang laki – laki & perempuan) di tiang rumah si “batin” dengan menggunakan kapur sirih. Lalu menyatakan kesiapan untuk dikawinkan, saksi mengesahkan pernikahan. Mempelai resmi dinyatakan menikah.
2.3. Pesta Perkawinan
     Pesta perkawinan di Suku Sakai dilakukan dengan cara ditabuhlah kendang secara bertalu – talu yang menandai bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai. Perta perkawinan biasanya berlangsung selama 3 hari 3 malam yang diisi dengan acara makan – makan, minum – minuman, berjudi dengan dihibur oleh tari – tarian.
2.4. Kawin Lari
     Kawin lari terjadi bila pihak si bujang tidak mempunyai uang cukup untuk membiayai pembelian barang untuk pertunangan dan barang untuk mas kawin. Bisa  juga apabila sang bujang & gadis tersebut sudah sama-sama khilaf, jatuh cinta dan mengandung, padahal si gadis sudah dipertunangkan dengan pemuda lainnya.
Di masa lampau, kawin lari  dilakukan dengan cara secara bersama - sama  menyembunyikan diri di dalam hutan selama tiga hari tiga malam.  Setelah masa tiga hari tiga malam dilalui, mereka datang ke "perbatinan" si gadis untuk menyerahkan diri. Lalu “batin” menyuruh untuk menangkap seekor anjing untuk dibawa kehadapannya. Anjing tersebut akan menjadi keabsahan pernikahan mereka karena merekat telah “bertindak seperti anjing”.
2.5. Perceraian
     Jika terjadi perceraian maka anak-anak akan ikut ibunya dan harta benda yang dimiliki dibagi dua. Pembagian harta keluarga tersebut dibagi sesuai dengan perundingan yang diadakan. Artinya tidak ada ketentuan pasti mengenai besarnya bagian masing-masing suami istri yang bercerai tersebut. Namun bagian istri lebih banyak karena istrilah yang akan merawat anak-anak.
3. Kematian

     Sebelum Orang Sakai memeluk agama Islam dan Kristen, Jika ada seorang Sakai yang meninggal dunia maka mayatnya akan diletakkan diletakkan ditengah rumah. Jika yang meninggal seorang "pak kuneng" atau saudara laki-laki ibu tertua dari "ego" maka si "ego" harus segera mengambil sebilah parang dan melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Darah yang mengucur tersebut harus di teteskan dimuka dan dada si mayat. Maksudnya adalah meminta maaf atas segala kesalahan dan memaafkan kesalahan si mati dan harapan supaya di alam kubur sejahtera hendaknya.
Selain ketiga tahap tersebut, ada pula hukum – hukum lain yang menjadi kebudayaan Suku Sakai. Seperti contohnya adalah Hukum Anta. Hukum Anta adalah Apabila ada orang yang hendak masuk ke kampung Siak harus membawa Uncang Jiak Jiok Pinang Masak Agak-Agak Pipik Sekawan (Sirih, Pinang Tembakau, Kapur dan Gambir). Jika tidak, maka dianggap sebagai orang jahat dan tidak punya adat. Karenanya akan dikenakan hukum anta (dibawa kerumah Batin, disuruh mandi, lalu disembelihkan ayam & dimasakkan nasi, disuruh makan, kemudian diantar pulang namun ditengah perjalanan dibunuh.
Ada pula jamu tradisional Suku Sakai yang disebut sebagai – Urek Petoga. Yaitu ramuan yang sejak dulu diberikan pada setiap bayi agar berbadan kencang dan kuat. Bisa juga sebagai obat kuat penambah vitalitas organ seksual kaum pria apabila ditambah kapur sirih. Bahan bakunya terdiri dari kayu dolik, kayu danto, serta beberapa macam rotan seperti rotan batu, lantai, sogo dan rotan gemanta. Waktu minum pun harus duduk diatas besi.
Selain itu Suku Sakai mempunyai Tari Makan Sirih yang merupakan tarian yang biasa dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu agung. Para penari mengenakan baju yang biasa dipakai mempelai perempuan (kurung teluk belanga). Tari Makan Sirih dipentaskan dengan iringan musik Melayu yang bersumber dari perpaduan antara suara marwas, gendang & gambus. Salah satu penari membawa kotak yang berisi sirih. Sirih kemudian dibuka dan tamu yang dianggap agung diberi kesempatan pertama untuk mengambilnya sebagai bentuk penghormatan, kemudian diikuti oleh tamu yang lain.
Suku Sakai merupakan salah satu kekayaan kebudayaan yang dimiliki nusantara. Dengan segala kebudayaan yang mereka miliki kita dapat mengetahui bahwa mereka hidup dengan keteraturan dan hidup dalam kesederhanaan. Kebudayaan tersebut membentuk mereka menjadi orang – orang yang tidak mudah menyerah dengan kondisi yang ada. Mereka masih dapat bertahan hidup meski kehidupan mereka bergantung dengan alam.
Sumber Referensi
Suparlan P., (1995), Orang Sakai di Riau: masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia




l

Tidak ada komentar:

Posting Komentar