Nama : Andhika
Setia Pratama
Kelas : 15 SAS B
NIM : 2225153278
NIM : 2225153278
Dalam kehidupan orang Sakai Sakai
dikenal dengan adanya tiga tahap yang penting dalam kehidupan manusia, yaitu:
(1) Tahap hamil dan melahirkan anak; (2) Perkawinan; dan (3) Kematian.
Sebuah
keluarga Orang Sakai biasanya terdiri atas suami dan istri beserta dengan anak
atau anak – anak mereka yang belum menikah. Keluarga tersebut dinamakan
“keluarga inti” atau “keluarga batih”. Ada pun “keluarga luas” dalam Suku Sakai
apabila ditambah dengan anggota keluarga lainnya (yaitu bapak atau ibu dari
pihak suami atau istri, kemenakan yang belum kawin).
Ketiga
tahap yang telah disebutkan tersebut dianggap penting bagi Suku Sakai karena
merupakan puncak – puncak peristiwa kehidupan manusia dan nasib kehidupannya,
tetapi juga dianggap sebagai tahap – tahap yang paling berbahaya dalam
kehidupan manusia yang menjalaninya. Karena itu diadakan sejumlah upacara –
upacara dengan tujuan agar dalam peristiwa – peristiwa tersebut si pelaku yang
menjalaninya dengan baik.
1.
Hamil
dan Melahirkan Bayi
Bila ada seorang istri yang hamil maka dukun yang biasanya
diperankan oleh wanita tua yang sudah biasa membantu kelahiran bayi akan
memberikan pantangan – pantangan.
1.
Tidak melanggar ketentuan – ketentan
dalam berladang. Salah satu contohnya adalah sebuah ladang harus jelas bagian
muka (ekor lading) dan bagian belakang (kepala ladangnya).
2.
Dilarang melakukan hubungan kelamin
dengan orang yang dianggap sebagai adik kandung termasuk saudara sepupu,
melempar kucing ke luar rumah atau sebaliknya melempar kucing dari tanah ke
dalam rumah, kain cucian basah bibawa masuk ke dalam rumah atau sebaliknya.
3.
Dan yang terakhir adalah tidak boleh
menyiksa binatang.
Pada waktu seorang anak
berusia dua belas tahun dia disunat. Cara penyunatan pun dilakukan dengan cara
yang lazim dilakukan oleh Orang Islam setelah diterimanya ajaran Agama Islam
dalam kehidupan Orang Sakai.
2.
Perkawinan
Menurut kebudayaan
Orang Sakai setiap orang boleh kawin dengan siapa saja kecuali dengan orang
yang digolongkan sebagai anggota keluarganya. Diantaranya adalah : Ibu, Ibu
angkat, Ibu tiri, Bapak, Bapak angkat, Bapak tiri, Saudara sekandung, anak, dan
saudara sepupu menurut garis pararel (“pararel cousin”).
Dalam
kebudayaan Orang Sakai ada juga perkawinan dimana pihak laki – laki sudah
mempunyai istri, sehingga mewujudkan keluarga yang poligami. Perkawinan
poligini pun tidak dilarang dalam kebudayaan Orang Sakai namun jarang terjadi
karena pembiayaannya yang mahal dan juga tidak memungkinkan bahwa perkawinan
poligini dapat berlangsung dengan baik. Perkawinan antara bujang dengan gadis
biasanya diawali dengan suatu masa pertunangan, apabila tidak maka yang mereka
lakukan adalah kawin lari. Sebelum dilakukan pertunangan biasanya mereka sudah
saling mengenal terlebih dahulu. Bila hubungan mereka tampak oleh orang tua
mereka masing - masing maka biasanya orang tua si bujang menyuruh si bujang
untuk melamar. Ada dua cara menurut kebudayaan Orang Sakai. Pertama, dia sendiri
datang menemui orang tua si gadis yang dicintainya dan mengatakan kepada mereka
bahwa dia bermaksud memperistri gadis tersebut. Kedua, bila dia merasa malu,
atau segan, dia dapat meminta tolong kepada orang tuanya untuk dicarikan
seorang kerabatnya yang patut untuk didatangkan ke rumah si gadis dan biasanya
adalah seorang perempuan tua.
Proses upacara pertunangan Orang Sakai
berlansung sederhana. Perempuan tua tersebut langsung menghubungi orang tua
gadis dan membawa sirih pinang selanjutnya. Setelah selesai memakan sirih si
perempuan pun menyerahkan barang – barang bawaanya. Barang – barang tersebut
terdiri atas : (1) tempat tidur dari besi (“ranjang kero”); (2) gelang dan
cincin yang terbuat dari perak; (3) radio atau radio-rekorder. Bila barang sudah
diterima maka akan ditentukan waktu terbaik untuk melaksanakan pernikahan.
Biasanya dua bulan setelah dilakukannya serah terima barang tersebut.
2.1. Penyerahan Mas Kawin oleh
Pihak Keluarga Laki – Laki
Mas Kawin tersebut terdiri atas : (1)
sebuah mata uang perak riyal; (2) kain baju sepersalinan lengkap; (3) sepotong
pakaian untuk dipakai sehari – hari; (4) Sebuah cincin atau gelang yang terbuat
dari perak. Penyerahan mas kawin dilakukan di rumah “batin” (kepala suku)
2.2. Upacara Pengesahan Perkawinan
Upacara didahului dengan dibuatnya gambar
orang – orangan (seorang laki – laki & perempuan) di tiang rumah si “batin”
dengan menggunakan kapur sirih. Lalu menyatakan kesiapan untuk dikawinkan,
saksi mengesahkan pernikahan. Mempelai resmi dinyatakan menikah.
2.3. Pesta Perkawinan
Pesta perkawinan di Suku Sakai dilakukan
dengan cara ditabuhlah kendang secara bertalu – talu yang menandai bahwa pesta
perkawinan dapat segera dimulai. Perta perkawinan biasanya berlangsung selama 3
hari 3 malam yang diisi dengan acara makan – makan, minum – minuman, berjudi
dengan dihibur oleh tari – tarian.
2.4. Kawin Lari
Kawin
lari terjadi bila pihak si bujang tidak mempunyai uang cukup untuk membiayai
pembelian barang untuk pertunangan dan barang untuk mas kawin. Bisa juga apabila sang bujang & gadis tersebut
sudah sama-sama khilaf, jatuh cinta dan mengandung, padahal si gadis sudah
dipertunangkan dengan pemuda lainnya.
Di
masa lampau, kawin lari dilakukan dengan
cara secara bersama - sama
menyembunyikan diri di dalam hutan selama tiga hari tiga malam. Setelah masa tiga hari tiga malam dilalui,
mereka datang ke "perbatinan" si gadis untuk menyerahkan diri. Lalu
“batin” menyuruh untuk menangkap seekor anjing untuk dibawa kehadapannya.
Anjing tersebut akan menjadi keabsahan pernikahan mereka karena merekat telah
“bertindak seperti anjing”.
2.5. Perceraian
Jika terjadi perceraian maka anak-anak akan
ikut ibunya dan harta benda yang dimiliki dibagi dua. Pembagian harta keluarga
tersebut dibagi sesuai dengan perundingan yang diadakan. Artinya tidak ada
ketentuan pasti mengenai besarnya bagian masing-masing suami istri yang
bercerai tersebut. Namun bagian istri lebih banyak karena istrilah yang akan
merawat anak-anak.
3.
Kematian
Sebelum Orang Sakai memeluk agama Islam dan
Kristen, Jika
ada seorang Sakai yang meninggal dunia maka mayatnya akan diletakkan diletakkan
ditengah rumah. Jika yang meninggal seorang "pak kuneng" atau saudara
laki-laki ibu tertua
dari "ego" maka si "ego" harus segera mengambil sebilah
parang dan melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Darah yang mengucur
tersebut harus di teteskan dimuka dan dada si mayat. Maksudnya adalah meminta
maaf atas segala kesalahan dan memaafkan kesalahan si mati dan harapan supaya
di alam kubur sejahtera hendaknya.
Selain
ketiga tahap tersebut, ada pula hukum – hukum lain yang menjadi kebudayaan Suku
Sakai. Seperti contohnya adalah Hukum Anta. Hukum Anta adalah Apabila ada orang yang hendak masuk ke kampung Siak harus
membawa Uncang Jiak Jiok Pinang Masak Agak-Agak Pipik Sekawan (Sirih,
Pinang Tembakau, Kapur dan Gambir). Jika tidak, maka dianggap sebagai orang
jahat dan tidak punya adat. Karenanya akan dikenakan hukum anta (dibawa kerumah
Batin, disuruh mandi, lalu disembelihkan ayam & dimasakkan nasi, disuruh
makan, kemudian diantar pulang namun ditengah perjalanan dibunuh.
Ada
pula jamu tradisional Suku Sakai yang disebut sebagai – Urek Petoga. Yaitu
ramuan yang sejak dulu diberikan pada setiap bayi agar berbadan kencang dan
kuat. Bisa juga sebagai obat kuat penambah vitalitas organ seksual kaum pria
apabila ditambah kapur sirih. Bahan bakunya terdiri dari kayu dolik, kayu
danto, serta beberapa macam rotan seperti rotan batu, lantai, sogo dan rotan
gemanta. Waktu minum pun harus duduk diatas besi.
Selain
itu Suku Sakai mempunyai Tari Makan Sirih yang merupakan tarian yang biasa
dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu agung. Para penari mengenakan baju
yang biasa dipakai mempelai perempuan (kurung teluk belanga). Tari Makan Sirih
dipentaskan dengan iringan musik Melayu yang bersumber dari perpaduan antara
suara marwas, gendang & gambus. Salah satu penari membawa kotak yang berisi
sirih. Sirih kemudian dibuka dan tamu yang dianggap agung diberi kesempatan
pertama untuk mengambilnya sebagai bentuk penghormatan, kemudian diikuti oleh
tamu yang lain.
Suku Sakai merupakan salah satu
kekayaan kebudayaan yang dimiliki nusantara. Dengan segala kebudayaan yang
mereka miliki kita dapat mengetahui bahwa mereka hidup dengan keteraturan dan
hidup dalam kesederhanaan. Kebudayaan tersebut membentuk mereka menjadi orang –
orang yang tidak mudah menyerah dengan kondisi yang ada. Mereka masih dapat
bertahan hidup meski kehidupan mereka bergantung dengan alam.
Sumber Referensi
Suparlan P., (1995), Orang Sakai di Riau: masyarakat
terasing dalam masyarakat Indonesia
l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar