Orang Gayo Pertama dalam
Cerita Rakyat Gayo
Oleh: Kartika Esa Putri
Ayutama
NIM 2225152948
Suku
Gayo merupakan salah satu suku yang mendiami Nanggroe Aceh Darussalam. Suku ini
merupakan suku tertua di Aceh, dan termasuk salah satu suku tertua di Indonesia.
Seperti halnya Nanggroe Aceh Darussalam, mayoritas masyarakat suku Gayo juga
menganut agama Islam berikut ajaran-ajarannya. Pada awalnya, suku ini mendiami
daerah pinggiran pantai timur dan utara Aceh, namun kemudian tergeser hingga ke
dataran-dataran tinggi di Aceh Tengah.
Suku
ini memang bukan termasuk suku yang populer di Aceh, karena populasi
penduduknya yang juga tidak sebanyak suku Aceh sendiri. Namun apabila
ditelusuri, suku Gayo memiliki cerita rakyat yang menarik terkait asal muasal
penduduknya.
Pendapat
pertama dari beberapa cerita rakyat adalah orang-orang Gayo pertama datang dari
tanah Melayu, lalu menghuni pesisir timur dan utara Aceh. Masyarakatnya
berprofesi sebagai nelayan dan petani. Para petani kemudian mencari lahan yang
lebih baik untuk digarap. Mereka kemudian pergi ke dataran tinggi di Aceh
Tengah dan menetap di sana. Tak lama, terjadi perang antara Kerajaan Samudera
Pasai dengan Kerajaan Sriwijaya, dan antara Kerajaan Peurlak dengan Kerajaan
Majapahit. Penduduk Gayo yang tersisa kemudian mengungsi ke pedalaman dataran
tinggi Aceh Tengah, bergabung dengan para petani.
Perang
sudah usai, namun penduduk yang mengungsi enggan untuk kembali ke daerah asal
mereka. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menetap dan mendirikan kerajaan, yaitu
Kerajaan Linge, dengan raja pertamanya yaitu Tengku Kawe Tepat. Ia memiliki
tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak pertama yaitu
seorang putri, bernama Empu Beru. Anak kedua yaitu Bayak Linge, yang kemudian
pergi ke tanah Batak. Anak ketiga yaitu Merah Johan. Yang keempat bernama Merah
Linge. Anak keempatlah yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai raja kedua.
Pendapat
kedua ada dalam cerita rakyat lain mengenai asal-usul suku Gayo, yang mana masyarakat
pertama berasal dari Kerajaan Rum. Dikisahkan zaman dahulu kala hidup dua
bersaudara dengan nasib yang bertolak belakang. Sang kakak menjadi rakyat
jelata, dan sang adik menjadi raja.
Sang
kakak memiliki tujuh orang putra. Pada suatu hari, ketujuh putra sang kakak
meminta kail pancing kepada sang ayah. Karena rasa sayangnya, sang ayah
kemudian membuatkan tujuh buah kail pancing. Namun saat akan membuat kail
terakhir, ia tidak memiliki cukup kawat untuk menyelesaikannya. Akhirnya
Genali, salah seorang putranya, mengambil kail yang belum selesai itu dan
menyelesaikannya sendiri. Ia pun pergi membawa kail itu ke laut untuk mencari
ikan.
Genali
pergi memancing di atas sebuah perahu. Ia sedang duduk menunggu di atas perahu
kayunya saat kemudian umpannya dimakan. Ia berusaha menarik gagang pancingnya,
tapi kemudian ia ikut tertarik semakin jauh ke laut, dan terdampar di sebuah
pulau.
Selama
berbulan-bulan ia terdampar di pulau itu sendirian, sampai pakaiannya tak lagi
layak dipakai dan akhirnya habis. Ia berkeliling dan mengawasi laut, mencari
kapal yang kebetulan sedang lewat. Akhirnya suatu hari, ia melihat ada sebuah
kapal mendekat, lalu ia berteriak memanggilnya. Namun tak peduli sekeras apapun
Genali memanggil, kapal tersebut tidak berhenti. Anehnya, kapal itu hanya
berputar-putar di dekat pulau, tidak menjauh namun tidak juga mendekat.
Akhirnya
suatu hari kapal itu mendekat. Barulah saat Genali naik, kapal tersebut bisa
berlayar dengan lancar kembali. Ternyata, kapal itu sedang dalam pelayaran
menuju negeri Rum.
Beberapa
bulan kemudian, tibalah kapal itu di pelabuhan Kerajaan Rum. Sesampainya di
sana, Genali menyerahkan ikan hasil tangkapannya kepada Raja Rum, dengan syarat
ia meminta ayam jago yang bagus kokoknya dan sehelai kain putih sepanjang empat
hasta.
Raja
Rum menerima ikan hasil tangkapan Genali lalu membelahnya. Ternyata, di
dalamnya terdapat intan berlian. Permintaan Genali kemudian dikabulkan. Tentang
ayam jago yang bagus kokoknya, putri raja Rum memahami bahwa yang dimaksud
adalah dia sendiri. Sang raja tidak bisa menolak, karena ikan dari Genali sudah
diterima dan dibelah.
Genali
dan putri raja yang bernama Terus Mata kemudian dinikahkan di pulau tempat asal
Genali. Dalam persiapannya, dikirimlah hewan ternak, bibi dari sang putri, Empu
Beru, seorang pengasuh, dan sebuah kapal. Di sana, mereka kemudian mendirikan
kerajaan yang disebut Buntul Linge, dengan Genali sebagai rajanya.
Raja
Genali dikaruniai dua orang putra dari permaisuri Terus Mata, yaitu Joharsyah dan
Merah Abuk. Namun setelah lama ia memerintah, ia jatuh sakit dan dikabarkan
meninggal. Anehnya, saat keranda jenazah Genali dibuka, jenazahnya tak ada di
sana.
Diketahuilah
bahwa Genali ternyata masih hidup dan pergi ke Kutaraja. Di sana ia juga
menikah dan dikaruniai seorang putra bernama Alisyah. Namun saat Alisyah kecil,
Genali pergi ke Tanah Gayo dan memerintah di sana. Alisyah kemudian dibesarkan
oleh ibunya.
Suatu
hari, Alisyah bertanya kepada ibunya perihal keberadaan ayahnya. Ibunya
berkata, ayahnya sedang memerintah di Tanah Gayo. Karena ingin bertemu dengan
ayahnya, Alisyah kemudian menyusul ayahnya. Ia berhasil menemui ayahnya, dan
Genali pun masih mengakui Alisyah sebagai putranya.
Beberapa
tahun berlalu, dan Genali pun wafat. Alisyah kemudian diangkat sebagai raja
berikutnya.
Sebagian
tetua masyarakat Gayo mempercayai cerita rakyat ini sebagai penjelasaan dari
asal muasal masyarakat Gayo. Namun seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, ditemukan fakta lain mengenai asal muasal masyarakat suku Gayo.
Belakangan,
ditemukan beberapa kerangka manusia berusia 6500 tahun di Ceruk Mendale, Aceh
Tengah. Pada zaman pemilik kerangka tersebut hidup bahkan belum terdapat
peradaban yang modern, juga sistem kerajaan Islam seperti yang diketahui dari cerita
rakyat Suku Gayo. Berdasarkan penelitian terhadap kerangka-kerangka manusia tersebut,
penduduk pertama suku Gayo berasal dari gelombang Proto Melayu atau Melayu tua.
Kerangka-kerangka yang ditemukan juga memiliki kesamaan gen dengan orang Gayo sekarang.
Jika
pada awalnya masyarakat Gayo masih memercayai cerita-cerita rakyat sebagai
penjelasan asal muasal bangsa mereka, kini masyarakat Gayo sudah mulai
mempercayai fakta-fakta hasil penelitian ilmiah. Cerita-cerita rakyat tentang
asal muasal suku Gayo menjadi tidak valid, namun masih tetap dapat dinikmati
sebagai warisan dari pendahulu-pendahulu masyarakat Gayo. Faktanya, sebagian
besar cerita sangat menghibur dan memiliki unsur sejarah dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Dandy A. 1979. Sejarah Daerah dan Suku Gayo. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tantawi I., Bunyamin S.
2011. Pilar-pilar Kebudayaan Gayo Lues. Medan:
USU Press.
Nur W. 2015. Menelusuri Sejarah
Suku Gayo melalui Dongeng dan Bukti Arkeologi. [Internet] [Diunduh pada 3
April 2016] Tersedia pada http://www.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar