Dibuat
oleh:
Nama : Sabilla Chaerunnisa
NIM : 2225151249
Prodi : Sastra Inggris
Mata
Kuliah: Budaya dan Kearifan Lokal
(UTS)
Istilah
kerabat, dalam kamus antropologi didefinisikan sebagai orang sedaerah atau
dekat sehingga disebut dengan kekerabatan (Suyono & Siregar, 1985:196).
Kerabat tersebut bisa dari pihak istri maupun kerabat dari pihak suami dan
semua kerabat tersebut harus diperlakukan dengan baik. Kerabat merupakan pihak
yang dekat kepada seseorang setelah keluarga sendiri, untuk itulah menjalin
hubungan baik dengan kerabat menjadi sangat penting. Orang disebut berkerabat
bukan hanya adanya ikatan perkawinan atau karena adanya hubungan keluarga,
tetapi karena adanya hubungan darah (Koentjaraningrat, 1998:122). Anggota
kelompok kekerabatan (keturunan) saling berkaitan karena mempunyai nenek moyang
yang sama.
Suku
Betawi merupakan suku yang berada di DKI Jakarta. Orang Betawi ini disebut juga
sebagai orang Melayu Jawa yang merupakan hasil percampuran antara orang-orang
Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers
(keturunan Indo-Portugis) yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak
awal abad ke-15. Dari percampuran tersebut, masyarakat Betawi yang menikah akan
memiliki keturunan dan secara otomatis akan terbentuk sistem kekerabatan
didalamnya. Namun, tidak selalu berasal dari percampuran, bisa saja keduanya
yang menikah asli berasal dari DKI Jakarta.
Sistem
kekerabatan pada masyarakat Betawi berlandaskan pada budaya Islam yaitu sistem
kekerabatan yang menganut sistem
bilineal yang artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu,
semua kerabat dekat maupun kerabat jauh dapat ditelusuri dari pihak ayah maupun
pihak ibu. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi permasalahan
dalam suku Betawi karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang
sama. Sebagai contoh, di dalam ranah Minang, apabila seorang laki-laki ingin
menikah, ia harus “dibeli” oleh perempuan, sang perempuan harus membawa uang
penjemput untuk laki-laki yang ingin perempuan itu nikahi dengan alasan menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah
melahirkan dan membesarkannya. Namun tidak sama halnya dengan suku
Betawi, apabila orang Betawi ingin mengadakan acara pernikahan, bagi yang
melangsungkan pernikahan bisa memilih siapakah yang dapat lebih mendominasi, baik
sang laki-laki ataupun perempuan, boleh secara patriarki ataupun matriarki,
hasil tersebut nantinya tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Tidak harus
selalu laki-laki yang mendominasi, namun perempuan juga boleh karena antara
laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan hak.
Dalam konteks bilineal selain
pernikahan, misalnya dalam memperoleh warisan dan pendidikan, dalam pembagian
warisan memang dari dahulu hingga sekarang laki-laki biasanya memperoleh dua
kali lipat lebih banyak dibandingkan perempuan. Sedangkan untuk pendidikan,
masyarakat Betawi zaman dahulu mengharuskan laki-laki memiliki pendidikan yang
lebih tinggi dibandingkan perempuan karena dahulu masyarakat mengganggap bahwa
perempuan hanya bekerja di dapur, sumur, dan kasur. Hal ini yang memengaruhi
cara berfikir masyarakat Betawi di zaman dahulu dan masih memengaruhi sebagian
kecil masyarakat pada zaman sekarang dengan mengadopsi pemikiran zaman dahulu
tersebut. Sebagian kecil tersebut masih menganggap “Buat apa sekolah kalau ujung-ujungnya di rumah urus keluarga?” Padahal
terlihat jelas bahwa pendidikan sangat penting baik bagi laki-laki maupun
perempuan. Meskipun nanti akan berujung hanya menjaga anak dan keluarga,
seorang perempuan harus tetap berpendidikan karena anak yang pintar akan
berasal dari ibu yang pintar. Namun, sekarang hanya sebagian kecil saja yang
masih mengadopsi pemikiran zaman dahulu tentang dapur, sumur, dan kasur.
Sebagian besar dalam hal pendidikan sudah disamaratakan, bahkan banyak
perempuan yang lebih berpendidikan tinggi dibandingkan laki-laki.
Pada
suku Betawi masyarakatnya juga menggunakan sistem marga. Mereka mengklaim bahwa
nama marga yang diambilnya, tidak diadopsi seperti marga dalam batak. Marga
yang dimaksud adalah salah satu bentuk pengikat keturunan mereka berdasarkan
garis orang tua yang diberi sejak lahir, terutama garis ayah. Kemudian memberi
nama ayahnya diakhir dari nama depan seseorang itu, maka itulah dia marganya.
Nama marga dalam masyarakat Betawi ini sudah ada dan terjaga sejak zaman
kolonial Belanda. Jika dihitung-hitung sejak asal-usul nama marga ini ada,
hingga sampai sekarang sudah memiliki sekitar 6-7 generasi. Misalnya, nama
seorang ayah adalah Rahmat dan ingin memberikan nama untuk anak laki-laki yang
baru lahir yaitu Abdul. Apabila sang ayah ingin mengikuti sistem penamaan
Betawi menggunakan marga, sang ayah akan memberi nama anaknya tersebut Abdul
Rahmat.
Di dalam sistem kekerabatan
masyarakat Betawi juga terdapat sapaan yang berlaku didalamnya. Misalnya,
“Bang, katanye abang punya abang
nyang kerje di bengkelnye bang Yoyo”.
Kata ibu kepada abang, “Dudung, ibu mau ke pasar dulu ye, Dudung di rumah aje ye,
jagain ade”
Dalam
percakapan pertama, kata bang yang
pertama dalam kalimat itu adalah kata sapaan dan kata abang yang kedua adalah
kata perkerabatan. Kata ibu yang
pertama, kata abang, dan kata ade pada percakapan kedua di atas adalah
kata perkerabatan, sedangkan kata Dudung
yang pertama adalah kata sapaan. Dari contoh-contoh di atas bisa ditarik
kesimpulan bahwa kosakata perkerabatan bila digunakan sebagai kata perkerabatan
selalu menggunakan bentuk utuh, seperti abe, ibu, ngkong, abang, dan besan. Dari
pengamatan selintas mengenai pemilihan kata yang digunakan sebagai kata
perkerabatan dapat disebutkan hal-hal yaitu melalui pilihan secara arbitrer,
mana suka, sehingga untuk konsep ‘orang tua laki-laki’ ada yang menggunakan
kata aba’, baba’, bapa, atau babe. Untuk
konsep orang tua perempuan ‘ada yang menggunakan ibu, emak, atau enyak. Untuk konsep ‘saudara ayah atau saudara ibu’
ada yang menggunakan ncang dan ncing ada pula yang menggunakan ua’ baik untuk laki-laki maupun
perempuan. Sedangkan untuk konsep kata ganti dapat berupa ane atau ente tetapi ada
pula yang menggunakan kata ganti gue
(gua, guah) dan lu (luh). Maka
dari itu, dengan adanya sistem sapaan antar kerabat di dalam suku Betawi dapat
membentuk seseorang bertingkah laku sopan dalam menyapa seseorang yang lebih
tua dengan sebutan enyak, babe, engkong,
ncang, atau ncing. Tidak mungkin
seorang anak berbicara kepada ibunya “Masakan
semur jengkolnye Nur enak ye.”, pasti seorang anak akan berbicara kepada
ibunya “Masakan semur jengkolnye enyak
enak ye.” karena memanggil seseorang dengan sapaan dalam sistem kekerabatan
membuat sang lawan bicara merasa dihormati dan dihargai oleh orang yang sedang
berbicara, yang muda menghormati yang tua, istri menghormati suami, yang tua
menyayangi, mengasihi yang lebih muda serta membimbingnya.
Hubungan
antar masyarakat dalam suku Betawi sangat erat. Solidaritas terhadap
lingkungannya cukup tinggi, baik dalam suka maupun duka. Mereka juga
mengamalkan azaz mufakat dalam mengambil keputusan dalam lingkungan kehidupan
kerabat dan lingkungan sosial yang lebih luas. Semua itu langsung atau tidak
langsung terkait dengan norma dan nilai ketaqwaan kepada Allah Swt berdasarkan
ajaran agama Islam. Tidak hanya didalam keluarga ataupun lingkungan, masyarakat
Betawi mudah untuk menerima orang dari luar Betawi masuk ke dalam lingkungan
Betawi, hal ini membuktikan bahwa masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang
terbuka, menghargai pluralisme dan memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi.
Namun, apabila ada serangan dari luar dan masyarakat Betawi merasa diancam,
terkadang masyarakatnya cenderung tendensius semata-mata hanya untuk membela
suku Betawi. Karakter ini menunjukan bahwa orang Betawi berani menghadapi
tantangan apa pun selama mereka meyakini apa yang mereka pilih itu benar.
Dapat
disimpulkan bahwa didalam sistem kekerabatan, suku Betawi menganut sistem
bilineal yang berarti dalam pergaulan antar anggota kerabat tidak dibatasi pada
kerabat ayah atau kerabat ibu saja, melainkan meliputi kedua-duanya. Dalam
sistem kekerabatan suku Betawi hubungan anak terhadap sanak keluarga pihak ayah
adalah sama dengan hubungan keluarga di pihak ibu. Banyak hal yang dapat memengaruhi cara berfikir, tingkah laku
dan karakter seseorang dalam menjalin hubungan dengan kerabat didalam sistem
kekerabatan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 1976. Kamus Dialek Jakarta –
Bahasa. Ende: Nusa Indah.
Chaer,
Abdul., 2011, Sistem Perkerabatan dan Sapaan dalam Masyarakat Betawi, [doc], (http://lembagakebudayaanbetawi.com/wp-content/uploads/2011/01/Sistem-Perkerabatan-Dan-Sapaan-Dalam-Masyarakat-Betawi1.doc,
diakses tanggal 31 Maret 2016)
Jamaludin,
Adon Nasrullah. 2015. “SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT KAMPUNG SAWAH DI KOTA
BEKASI”. el Harakah, 17(2), 259-274.
TIGER ROOMS HOLDINGS | TIGER ROOMS HOLDINGS
BalasHapusTIGER apple watch series 6 titanium ROOMS ray ban titanium HOLDINGS. TIGER titanium 4000 ROOMS. No information is 2020 ford ecosport titanium available for titanium rod this page.Learn why