Rabu, 06 April 2016

Sistem Kekerabatan dalam Suku Betawi




Dibuat oleh:
Nama          : Sabilla Chaerunnisa
NIM            : 2225151249
Prodi           : Sastra Inggris
Mata Kuliah: Budaya dan Kearifan Lokal (UTS)


  




Istilah kerabat, dalam kamus antropologi didefinisikan sebagai orang sedaerah atau dekat sehingga disebut dengan kekerabatan (Suyono & Siregar, 1985:196). Kerabat tersebut bisa dari pihak istri maupun kerabat dari pihak suami dan semua kerabat tersebut harus diperlakukan dengan baik. Kerabat merupakan pihak yang dekat kepada seseorang setelah keluarga sendiri, untuk itulah menjalin hubungan baik dengan kerabat menjadi sangat penting. Orang disebut berkerabat bukan hanya adanya ikatan perkawinan atau karena adanya hubungan keluarga, tetapi karena adanya hubungan darah (Koentjaraningrat, 1998:122). Anggota kelompok kekerabatan (keturunan) saling berkaitan karena mempunyai nenek moyang yang sama.
Suku Betawi merupakan suku yang berada di DKI Jakarta. Orang Betawi ini disebut juga sebagai orang Melayu Jawa yang merupakan hasil percampuran antara orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal abad ke-15. Dari percampuran tersebut, masyarakat Betawi yang menikah akan memiliki keturunan dan secara otomatis akan terbentuk sistem kekerabatan didalamnya. Namun, tidak selalu berasal dari percampuran, bisa saja keduanya yang menikah asli berasal dari DKI Jakarta.
Sistem kekerabatan pada masyarakat Betawi berlandaskan pada budaya Islam yaitu sistem kekerabatan  yang menganut sistem bilineal yang artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu, semua kerabat dekat maupun kerabat jauh dapat ditelusuri dari pihak ayah maupun pihak ibu. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi permasalahan dalam suku Betawi karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama. Sebagai contoh, di dalam ranah Minang, apabila seorang laki-laki ingin menikah, ia harus “dibeli” oleh perempuan, sang perempuan harus membawa uang penjemput untuk laki-laki yang ingin perempuan itu nikahi dengan alasan menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya. Namun tidak sama halnya dengan suku Betawi, apabila orang Betawi ingin mengadakan acara pernikahan, bagi yang melangsungkan pernikahan bisa memilih siapakah yang dapat lebih mendominasi, baik sang laki-laki ataupun perempuan, boleh secara patriarki ataupun matriarki, hasil tersebut nantinya tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Tidak harus selalu laki-laki yang mendominasi, namun perempuan juga boleh karena antara laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan hak.
            Dalam konteks bilineal selain pernikahan, misalnya dalam memperoleh warisan dan pendidikan, dalam pembagian warisan memang dari dahulu hingga sekarang laki-laki biasanya memperoleh dua kali lipat lebih banyak dibandingkan perempuan. Sedangkan untuk pendidikan, masyarakat Betawi zaman dahulu mengharuskan laki-laki memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan karena dahulu masyarakat mengganggap bahwa perempuan hanya bekerja di dapur, sumur, dan kasur. Hal ini yang memengaruhi cara berfikir masyarakat Betawi di zaman dahulu dan masih memengaruhi sebagian kecil masyarakat pada zaman sekarang dengan mengadopsi pemikiran zaman dahulu tersebut. Sebagian kecil tersebut masih menganggap “Buat apa sekolah kalau ujung-ujungnya di rumah urus keluarga?” Padahal terlihat jelas bahwa pendidikan sangat penting baik bagi laki-laki maupun perempuan. Meskipun nanti akan berujung hanya menjaga anak dan keluarga, seorang perempuan harus tetap berpendidikan karena anak yang pintar akan berasal dari ibu yang pintar. Namun, sekarang hanya sebagian kecil saja yang masih mengadopsi pemikiran zaman dahulu tentang dapur, sumur, dan kasur. Sebagian besar dalam hal pendidikan sudah disamaratakan, bahkan banyak perempuan yang lebih berpendidikan tinggi dibandingkan laki-laki.
Pada suku Betawi masyarakatnya juga menggunakan sistem marga. Mereka mengklaim bahwa nama marga yang diambilnya, tidak diadopsi seperti marga dalam batak. Marga yang dimaksud adalah salah satu bentuk pengikat keturunan mereka berdasarkan garis orang tua yang diberi sejak lahir, terutama garis ayah. Kemudian memberi nama ayahnya diakhir dari nama depan seseorang itu, maka itulah dia marganya. Nama marga dalam masyarakat Betawi ini sudah ada dan terjaga sejak zaman kolonial Belanda. Jika dihitung-hitung sejak asal-usul nama marga ini ada, hingga sampai sekarang sudah memiliki sekitar 6-7 generasi. Misalnya, nama seorang ayah adalah Rahmat dan ingin memberikan nama untuk anak laki-laki yang baru lahir yaitu Abdul. Apabila sang ayah ingin mengikuti sistem penamaan Betawi menggunakan marga, sang ayah akan memberi nama anaknya tersebut Abdul Rahmat.
            Di dalam sistem kekerabatan masyarakat Betawi juga terdapat sapaan yang berlaku didalamnya. Misalnya,
Bang, katanye abang punya abang nyang kerje di bengkelnye bang Yoyo”.
Kata ibu kepada abang, “Dudung, ibu mau ke pasar dulu ye, Dudung di rumah aje ye, jagain ade
Dalam percakapan pertama, kata bang yang pertama dalam kalimat itu adalah kata sapaan dan kata abang yang kedua adalah kata perkerabatan. Kata ibu yang pertama, kata abang, dan kata ade pada percakapan kedua di atas adalah kata perkerabatan, sedangkan kata Dudung yang pertama adalah kata sapaan. Dari contoh-contoh di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa kosakata perkerabatan bila digunakan sebagai kata perkerabatan selalu menggunakan bentuk utuh, seperti abe, ibu, ngkong, abang, dan besan. Dari pengamatan selintas mengenai pemilihan kata yang digunakan sebagai kata perkerabatan dapat disebutkan hal-hal yaitu melalui pilihan secara arbitrer, mana suka, sehingga untuk konsep ‘orang tua laki-laki’ ada yang menggunakan kata aba’, baba’, bapa, atau babe. Untuk konsep orang tua perempuan ‘ada yang menggunakan ibu, emak, atau enyak. Untuk konsep ‘saudara ayah atau saudara ibu’ ada yang menggunakan ncang dan ncing ada pula yang menggunakan ua’ baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sedangkan untuk konsep kata ganti dapat berupa ane atau ente tetapi ada pula yang menggunakan kata ganti gue (gua, guah) dan lu (luh). Maka dari itu, dengan adanya sistem sapaan antar kerabat di dalam suku Betawi dapat membentuk seseorang bertingkah laku sopan dalam menyapa seseorang yang lebih tua dengan sebutan enyak, babe, engkong, ncang, atau ncing. Tidak mungkin seorang anak berbicara kepada ibunya “Masakan semur jengkolnye Nur enak ye.”, pasti seorang anak akan berbicara kepada ibunya “Masakan semur jengkolnye enyak enak ye.” karena memanggil seseorang dengan sapaan dalam sistem kekerabatan membuat sang lawan bicara merasa dihormati dan dihargai oleh orang yang sedang berbicara, yang muda menghormati yang tua, istri menghormati suami, yang tua menyayangi, mengasihi yang lebih muda serta membimbingnya.

Hubungan antar masyarakat dalam suku Betawi sangat erat. Solidaritas terhadap lingkungannya cukup tinggi, baik dalam suka maupun duka. Mereka juga mengamalkan azaz mufakat dalam mengambil keputusan dalam lingkungan kehidupan kerabat dan lingkungan sosial yang lebih luas. Semua itu langsung atau tidak langsung terkait dengan norma dan nilai ketaqwaan kepada Allah Swt berdasarkan ajaran agama Islam. Tidak hanya didalam keluarga ataupun lingkungan, masyarakat Betawi mudah untuk menerima orang dari luar Betawi masuk ke dalam lingkungan Betawi, hal ini membuktikan bahwa masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang terbuka, menghargai pluralisme dan memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Namun, apabila ada serangan dari luar dan masyarakat Betawi merasa diancam, terkadang masyarakatnya cenderung tendensius semata-mata hanya untuk membela suku Betawi. Karakter ini menunjukan bahwa orang Betawi berani menghadapi tantangan apa pun selama mereka meyakini apa yang mereka pilih itu benar.
Dapat disimpulkan bahwa didalam sistem kekerabatan, suku Betawi menganut sistem bilineal yang berarti dalam pergaulan antar anggota kerabat tidak dibatasi pada kerabat ayah atau kerabat ibu saja, melainkan meliputi kedua-duanya. Dalam sistem kekerabatan suku Betawi hubungan anak terhadap sanak keluarga pihak ayah adalah sama dengan hubungan keluarga di pihak ibu. Banyak hal yang  dapat memengaruhi cara berfikir, tingkah laku dan karakter seseorang dalam menjalin hubungan dengan kerabat didalam sistem kekerabatan.







DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1976. Kamus Dialek Jakarta – Bahasa. Ende: Nusa Indah.
Chaer, Abdul., 2011, Sistem Perkerabatan dan Sapaan dalam Masyarakat Betawi, [doc], (http://lembagakebudayaanbetawi.com/wp-content/uploads/2011/01/Sistem-Perkerabatan-Dan-Sapaan-Dalam-Masyarakat-Betawi1.doc, diakses tanggal 31 Maret 2016)
Jamaludin, Adon Nasrullah. 2015. “SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT KAMPUNG SAWAH DI KOTA BEKASI”. el Harakah, 17(2), 259-274.


1 komentar:

  1. TIGER ROOMS HOLDINGS | TIGER ROOMS HOLDINGS
    TIGER apple watch series 6 titanium ROOMS ray ban titanium HOLDINGS. TIGER titanium 4000 ROOMS. No information is 2020 ford ecosport titanium available for titanium rod this page.Learn why

    BalasHapus