Jasmine
Naufalia Zhafira
2225151691
/ 15 Sastra B
Pengaruh Adat Dan Tradisi Bangka
Belitung terhadap Pola Pikir, Cara Pandang, dan Tingkah Laku Masyarakat Bangka
Belitung
Sistem adat dan
kebudayaan yang tumbuh di Bangka Belitung erat kaitannya dengan dominasi Islam
yang diterima masyarakat sebagai aturan wajib hukum agama di Bangka Belitung.
Namun tradisi kepercayaan yang melebur pada sistem kepercayaan dan adat
masyarakatnya masih cukup kental yang berlaku pada penduduk-penduduk
perkampungan, suku-suku, serta etnik yang masuk setelah masa kolonial Belanda
yaitu Etnik Tionghoa.
Hukum adat yang
digunakan oleh Raja tentu tidak akan berlaku ketika pemerintahaannya sudah
tidak ada lagi, yang berlaku setelahnya adalah hukum yang dijalankan oleh
pemangku yang ada di bawahnya. Di Bangka Belitung dibawah Raja terdapat
masyarakat yang memegang jabatan ke-adat-an, misalnya sesepuh turunan
raja, kepala kampung, kepala suku. Sedangkan adat-istiadat lokal masyarakatnya
ada di bawah para penghulu dan dukun kampung sedangkan wewenang tentang perihal
tradisi kepercayaan ada pada dukun-dukun, seperti; dukun obat, dukun angin,
dukun hujan, dukun hutan, dukun api, dukun madu, dukun buaya, serta dukun di
berbagai spesifikasi lainnya.
Raja, kepala yang
menggelar hukum adat di masa kekuasaannya akan membentuk karakter tersendiri
pada masyarakatnya yang kemudian akan menjadikan hal tersebut sebagai pondasi
dari pola pikir, cara pandang, dan tingkah laku masyarakat Bangka Belitung.
Contoh Nyata :
Cakraninggrat
III KA Gending (1696-1700) Raja Balok di Belitung, memberlakukan hukum adat tetukun; yaitu apabila orang
asing akan menikahi gadis wilayah tersebut, si lelaki harus membayar sejumlah
uang kepada ngabehi, serta tak boleh membawa pulang perempuan yang dinikahi
tersebut, si lelaki diharuskan tinggal di wilayah kekuasaan hukum raja.
Hal
tersebut memberi dampak yang cukup besar bagi masyarakat Belitung. Hingga kini
masyarakat Bangka Belitung memberlakukan tradisi “Berebut Lawang” yang mana terdapat tiga pintu yang telah
disediakan oleh pihak mempelai Wanita, yang harus dilewati mempelai Laki-Laki dan
perwakilan keluarganya. Untuk bisa melewati pintu-pintu tersebut, perwakilan dari
kedua pihak melakukan balas-balasan pantun, dan setelah dipersilahkan masuk
dari setisp pintu, pihak lelaki akan memberikan ‘Uang Perayu’ dimana uang
tersebut diberikan guna agar dibukakan pintu.
Banyak
upaya masyarakat dalam menjadikan hukum adat tetukun ini menjadi nyata pada
masanya, karena umumnya tidak mudah bagi masyarakat untuk menerima orang asing
di lingkup masyarakatnya, namun karena masyarakat Belitung diharuskan memiliki
pikiran terbuka dan toleransi tinggi, maka setiap orang asing yang menikahi
gadis Belitung di masa tersebut dapat diterima dengan baik.
Di
Belitung hukum yang berkaitan dengan pidana dan perdatanya juga memberi peran
penting dalam pembentukan karakter masyarakatnya hingga mereka menghormati
hak-hak antar warga.
Sebagai
contoh nyata jika seorang membunuh disertai dengan penganiayaan maka hukumannya
adalah di gantung sampai mati. Atau jika membunuh dengan alasan pembelaan maka
dihukum menjadi budak turun-temurun atau di denda. Jika mencuri hukumannya
wajib mengembalikan barang curian disertai dengan denda dan jika tak terbayar
akan menjadi budak raja. Jika seorang mengambil istri orang atau melakukan
perzinahan maka hukumannya dibunuh di muka umum. Seorang yang menipu akan sama
berat hukumannnya dengan mencuri. Seorang yang berhutang harus membayar kembali
hutangnya jika tak terbayar hutangnya maka ia harus bekerja pada seorang yang
memberi piutang dengan diperhitungkan upahnya hingga hutang-hutangnya lunas.
Hal-hal
tersebut diatas cukup memberikan gambaran, bahwa masyarakat Belitung menjunjung
tinggi keadilan dan hak-hak antar masyarakatnya. Disisi lain, sanksi untuk
orang yang melakukan kesalahan adalah mendapat hukuman tegas yang dapat membuat
mereka jera.
Jadi
dapat ditarik kesimpulan, bahwa Masyarakat Belitung memiliki cara berpikir yang
terbuka, disisi lain mereka tegas walau unsur Melayu masih melekat dalam
kehidupan mereka, sifat gotong royong masyarakatnya juga masih terlihat nyata terutama dalam acara
pernikahan, dan sikap toleransi yang tinggi juga merupakan ciri khas dari suku
Belitung itu sendiri.
Daftar
Pustaka :
Akhmad, Elvian. 2009. Organisasi
Sosial Suku Bangsa Melayu Bangka. Jakarta
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/berebut-lawang-bersambut-pantun-dalam-tradisi-pernikahan-masyarakat-belitung Diakses tanggal 1
April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar