Rabu, 06 April 2016

Pengaruh Adat Dan Tradisi Bangka Belitung terhadap Pola Pikir, Cara Pandang, dan Tingkah Laku Masyarakat Bangka Belitung

Jasmine Naufalia Zhafira
2225151691 / 15 Sastra B

Pengaruh Adat Dan Tradisi Bangka Belitung terhadap Pola Pikir, Cara Pandang, dan Tingkah Laku Masyarakat Bangka Belitung



Sistem adat dan kebudayaan yang tumbuh di Bangka Belitung erat kaitannya dengan dominasi Islam yang diterima masyarakat sebagai aturan wajib hukum agama di Bangka Belitung. Namun tradisi kepercayaan yang melebur pada sistem kepercayaan dan adat masyarakatnya masih cukup kental yang berlaku pada penduduk-penduduk perkampungan, suku-suku, serta etnik yang masuk setelah masa kolonial Belanda yaitu Etnik Tionghoa.

Hukum adat yang digunakan oleh Raja tentu tidak akan berlaku ketika pemerintahaannya sudah tidak ada lagi, yang berlaku setelahnya adalah hukum yang dijalankan oleh pemangku yang ada di bawahnya. Di Bangka Belitung dibawah Raja terdapat masyarakat yang memegang jabatan ke-adat-an, misalnya sesepuh turunan raja, kepala kampung, kepala suku. Sedangkan adat-istiadat lokal masyarakatnya ada di bawah para penghulu dan dukun kampung sedangkan wewenang tentang perihal tradisi kepercayaan ada pada dukun-dukun, seperti; dukun obat, dukun angin, dukun hujan, dukun hutan, dukun api, dukun madu, dukun buaya, serta dukun di berbagai spesifikasi lainnya.

Raja, kepala yang menggelar hukum adat di masa kekuasaannya akan membentuk karakter tersendiri pada masyarakatnya yang kemudian akan menjadikan hal tersebut sebagai pondasi dari pola pikir, cara pandang, dan tingkah laku masyarakat Bangka Belitung.





Contoh Nyata :
Cakraninggrat III KA Gending (1696-1700) Raja Balok di Belitung, memberlakukan hukum adat tetukun; yaitu apabila orang asing akan menikahi gadis wilayah tersebut, si lelaki harus membayar sejumlah uang kepada ngabehi, serta tak boleh membawa pulang perempuan yang dinikahi tersebut, si lelaki diharuskan tinggal di wilayah kekuasaan hukum raja.

Hal tersebut memberi dampak yang cukup besar bagi masyarakat Belitung. Hingga kini masyarakat Bangka Belitung memberlakukan tradisi “Berebut Lawang” yang mana terdapat tiga pintu yang telah disediakan oleh pihak mempelai Wanita, yang harus dilewati mempelai Laki-Laki dan perwakilan keluarganya. Untuk bisa melewati pintu-pintu tersebut, perwakilan dari kedua pihak melakukan balas-balasan pantun, dan setelah dipersilahkan masuk dari setisp pintu, pihak lelaki akan memberikan ‘Uang Perayu’ dimana uang tersebut diberikan guna agar dibukakan pintu.

Banyak upaya masyarakat dalam menjadikan hukum adat tetukun ini menjadi nyata pada masanya, karena umumnya tidak mudah bagi masyarakat untuk menerima orang asing di lingkup masyarakatnya, namun karena masyarakat Belitung diharuskan memiliki pikiran terbuka dan toleransi tinggi, maka setiap orang asing yang menikahi gadis Belitung di masa tersebut dapat diterima dengan baik.

Di Belitung hukum yang berkaitan dengan pidana dan perdatanya juga memberi peran penting dalam pembentukan karakter masyarakatnya hingga mereka menghormati hak-hak antar warga.

Sebagai contoh nyata jika seorang membunuh disertai dengan penganiayaan maka hukumannya adalah di gantung sampai mati. Atau jika membunuh dengan alasan pembelaan maka dihukum menjadi budak turun-temurun atau di denda. Jika mencuri hukumannya wajib mengembalikan barang curian disertai dengan denda dan jika tak terbayar akan menjadi budak raja. Jika seorang mengambil istri orang atau melakukan perzinahan maka hukumannya dibunuh di muka umum. Seorang yang menipu akan sama berat hukumannnya dengan mencuri. Seorang yang berhutang harus membayar kembali hutangnya jika tak terbayar hutangnya maka ia harus bekerja pada seorang yang memberi piutang dengan diperhitungkan upahnya hingga hutang-hutangnya lunas.

Hal-hal tersebut diatas cukup memberikan gambaran, bahwa masyarakat Belitung menjunjung tinggi keadilan dan hak-hak antar masyarakatnya. Disisi lain, sanksi untuk orang yang melakukan kesalahan adalah mendapat hukuman tegas yang dapat membuat mereka jera.  

Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa Masyarakat Belitung memiliki cara berpikir yang terbuka, disisi lain mereka tegas walau unsur Melayu masih melekat dalam kehidupan mereka, sifat gotong royong masyarakatnya juga  masih terlihat nyata terutama dalam acara pernikahan, dan sikap toleransi yang tinggi juga merupakan ciri khas dari suku Belitung itu sendiri.

Daftar Pustaka :
Akhmad, Elvian. 2009. Organisasi Sosial Suku Bangsa Melayu Bangka. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar