Jumat, 08 April 2016

SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT MELAYU BELITUNG

SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT MELAYU BELITUNG

Oleh :
HALIMAH CAHYANI PUTRI
(2225154138)

            Lahir dari rumpun Melayu, membuat masyarakat Melayu Belitung begitu mendasarkan aspek-aspek kehidupan mereka pada dasar-dasar yang telah lahir di dalam tanah Melayu.  Dalam tanah Melayu dianggap bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai orang Melayu apabila dalam pergaulannya memahami bahasa Melayu, adat istiadat Melayu, dan beragama Islam, Dan pada syarat ketiga inilah dimana yang akan mempengaruh system kepercayaan yang lahir pada masyarakat Melayu Belitung. Ada satu pendapat berkembang dalam masyarakat Melayu, apabila ada seseorang yang masuk Islam maka orang tersebut masuk menjadi Melayu. Dan apabila terjadi seseorang atau sekelompok orang keluar dari agama Islam, maka orang atau kelompok tersebut dapat dikatakan bukan lagi sebagai orang Melayu. Agama Islam yang dianut orang-orang Melayu juga sangat luas pengaruhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena agama Islam sendiri memberikan acuan-acuan hidup baik untuk di dunia maupun di akhirat. Dan selanjutnya masyarakat Melayu berpendapat bahwa Islam identik dengan Melayu. Beitupun di tanah Bangka Belitung, istilah Melayu sendiri merajuk pada beberapa penafsiran antara lain, pertama merujuk pada mereka yang beragama Islam. Dengan perujukan ini, maka siapa saja yang tergolong beragama Islam dapat dikategorikan sebagai orang Melayu Belitung. Di Bangka setiap orang yang masuk Islam, telah disunat atau dikhitan akan disebut masuk Melayu. Selanutnya di Bangka ada orang Mapur (suku terasing) yang telah masuk kedalam Islam telah menjadi bagian dari Melayu, sedangkan yang tidak beragama Islam menyandang sebutan Lom (belum), yang artinya belum masuk Islam. Sehingga tentu saja dengan rujukan ini orang China atau etnis Thiongkok yang masuk islam secara ringan hati diterima di masyarakat sebagai orang Melayu Belitung.
            Masyarakat Melayu pada kehidupannya sehari-hari. Pada masa lalu sikap masyarakat yang patuh dan taat pada ajaran Islam ini pernah dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan penjajahan. Caranya dengan mempengaruhi para ulama Melayu yang mau dibayar, sehingga apa yang disampaikan adalah seolah-olah ajaran agama Islam, tetapi sesungguhnya adalah ajaran yang sudah terpengaruh oleh kehendak pemerintah Hindia Belanda. Ajaran tersebut berusaha untuk mengubah cara kerja orang Melayu yang tadinya ulet dan pekerja keras menjadi orang yang pemalas. Ajaran tersebut berupa tipu daya dengan mengaburkan pengertian amalan, bahwa hidup ini semata-mata hanyalah untuk beramal saja, yakni memperbanyak sembahyang baik di masjid, surau, atau rumah. Selain itu janganlah memperbanyak harta karena harta banyak mengandung setan dan daki (kotoran) dunia. Lebih baik hidup sederhana saja, asal bisa makan dan minum sehari-hari. Untuk apa pula mencari kekayaan dunia, karena sesungguhnya dunia ini adalah milih orang-orang kafir. Bagi umat Islam yang terpenting adalah kehidupan di akhirat. Sedangkan pengertian amalan sesungguhnya dalam Islam ialah sangat luas, bukan hanya terpaku pada sembahyang atau mengaji, melainkan segala perbuatan yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain serta dapat melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah. Hasutan dan rayuan para penjajah tersebut pada masa itu lama-kelamaan mempengaruhi pola hidup masyarakat Melayu. Usaha yang gigih dari para penjajah ini alhasil membuat masyarakat Melayu yang sebelumnya ulet dan gigih menjadi agak santai.
Menurut pandangan orang Melayu, hidup di dunia ini adalah fitrah, baik buruknya kehidupan tergantung pada seberapa banyak amalan yang telah kita perbuat. Mereka pun percaya bahwa kita hidup dunia hanya semata-mata untuk mencari kebahagiaan akhirat, sehingga antara kebutuhan jasmani dan rohani haruslah berjalan beriringan. Karena konsep hidup masyarakat Melayu sendiri seperti kata seorang petuah “bekerjalah kamu seakan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan mati esok”. Begitupun dalam memandang harta benda merekan hanya mempercayai kepada yang halal, karena bagi mereka harta benda hanyalah titipan Tuhan yang harus mereka jaga kebermanfaatannya,
Orang Melayu di Bangka Belitung pun sangat mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala hal. Begitupun pengambilan keputusan ini di dalam Islam sangatlah dianjurkan. Masyarakat Melayu di Belitung juga sangat menjaga kepentingan moral mereka, terutama dalam hal budi. Konsepsi budi sendiri menurut orang Melayu mengutamakan sopan santun, bercakap tidak kasar (bahkan menegur orang pun dengan menggunakan pantun), berbaju menutup aurat.
Melayu dan ajaran Islamnya pun tercermin kuat di dalam kehidupan masyarakat Belitung yang juga manaruhkan prinsip-prinsip islam tersebut di dalam setiap segi kehidupan mereka. Namun hanya saja masyarakat Belitung memiliki citra keislaman yang tidak seutuhnya sama dengan layaknya tanah Melayu. Hal ini dibuktikan dengan penghormatan terhadap agama Islam, lewat tradisi-tradisi adat mereka tersendiri, seperti halnya pada upacara Maras Taun, dimana mereka benar-benar berusaha untuk menunjukan rasa syukur mereka kepada Allah S.W.T atas segala nikmat yang diberikan lewat hasil padi yang melimpah ataupun tangkapan ikan yang bagus. Dan tradisi Maras Taun itu sendiri hanyalah dimiliki oleh masyarakat Melayu di Bangka Belitung.
           
Sumber:
http://m.adicita.com/artikel/563-Mengenal-Budaya-Melayu-Bangka-Belitung
"Kajian dan Penelitian Melayu Riau" oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.


Kamis, 07 April 2016

SISTEM KEPERCAYAAN SUMATERA SELATAN

Avi Azzahra
 ( 2225143412 )
Sistem Kepercayaan
Sumatera Selatan
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia sebagai wilayah penerima transmigran. Transmigrasi di Sumatera Selatan tahun 2004 – 2006 tercatat 725 keluarga dengan 2.718 jiwa. Selama tahun 2006, penempatan para transmigrasi hanya diwilayah kabupaten Ogan, Komering llir, organ lirr, Musi Banyuasin dan Banyuasin.
Desa Makarti Jaya adalah salah satu diantara 37 desa yang ada dikecamatan Banyuasin II , Kabupaten Musi Banyuasin, provinsi Sumatera Selatan yang merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi di Provinsi Sumatera Selatan yang mempunyai potensi besar untuk pengembangan lahan pertanian pasang surut. Para transmigrasi umumnya adalah orang – orang yang berasal dari suku bangsa Bali, Jawa, dan Sunda.
Pergaulan hidup beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di daerah Sumatera Selatan terus dikembangkan dan ditingkatkan sesuai dengan filsafat Negara Pancasila.
    Semua agama yang diakui pemerintahan ada penganutnya di Sumatera Selatan dengan perincian yaitu ; Agama Islam 96,6% , Katolik 0,9% , Kristen 1,0% , Budha 1,2% dan Hindu 0,2%. Jumlah tempat peribadatan dari tahun ketahun meningkat dengan cukup tajam.
      Pada umumnya, para transmigran yang tinggal di Desa Makarti Jaya masih mengenai sisa sisa kepercayaan yang bersifat animitis dan dinamitis. Mereka percaya akan adanya Roh atau arwah orang yang telah meninggal, dan benda benda alam yang dianggap mempunyai jiwa dan manna.
Roh atau arwah mereka personifikasikan menempati tempat tinggal manusia. Seperti : hutan, sungai, sawah, dan lain-lain. Bahkan lebih dari itu, “tanah” pun dianggap mempunyai jiwa dan manna. Hal itu dapat kita lihat apabila orang mau mendirikan rumah atau mengolah sawah.
      Dengan kepercayaan tersebut untuk menghormati penghuni tanah tersebut, masyarakat perlu mengadakan upacara. Dengan tujuan sebagai ucapan syukur mereka terhadap penguasa alam, dan juga pemohonan agar masyarakat diberi kesehatan dan hasil pertanian yang melimpah ruah.
     Upacara yang dilakukan petani dalam hubungannya dengan pertanian disebut Upacara Sedekah Parit. Upacara Sedekah Parit dilaksanakan pada hari Minggu sekitar pukul 11.00. Persis di pinggiran parit, tikar dan tratak tempat duduk peserta sebelumnya sudah dipasang. Sebelah selatan tratak yaitu antara parit dan tratak didirikan sanggah ( bahasa Bali ) tempat sesajin diletakan. Sesajin tersebut berupa satu ekor ayam pisang dan lain – lain.
    Saat semua anggota hadir, upacara dimulai. Seorang pendeta Hindu memimpin upacara menuju sanggah kemudian duduk bersila sambil mengucapkan mantera, yang berisi tentang ucapan terimakasih terhadap penguasa alam/ Tuhan Yang Maha Esa, karena mereka sudah diberikan keselamatan serta permohonan kembali supaya mereka juga dalam keadaan sehat bekerja dan mendapatkan hasil pertanian yang melimpah. Setelah semua itu diucapkan, “Pendeta” tadi kembali duduk ke tempat semula kemudian digantikan dengan pembacaan doa yang dilakukan salah seseorang dari mereka hadir secara agama Islam.
     Pada kesempatan Upacara Sedekah Parit juga dilakukan musyawarah tentang berbagai hal, seperti tentang hari pelaksanaan pengolahan sawah dimulai, juga berbagai diskusi tentang masalah pertanian yang mereka hadapi.
     Setelah upacara selesai, kemudian dilanjutkan acara makan. Sebelumnya mereka sudah menyediakannya dalam kantong pelastik, jadi ketika arahan selesai, jatah makanan yang sudah tersedia langsung dibagikan kepada peserta. Umumnya para peserta membawa makanan tersebut kerumahnya. Dan yang tinggal makan bersama adalah ketua kelompok dan beberapa anggota serta para undangan lainnya. Pada saat itu, makanan yang tadinya dipakai sesaji, kemudian diturunkan dan makan bersama.
    Dana untuk pelaksanaan upacara ditanggung bersama anggota kelompok tani. Sewaktu penelitian dilakukan biaya yang dikumpulkan adalah Rp. 2000 / wilayah tanah. Selain dana untuk pelaksanaan upacara sedekah parit, para petani juga mengumpulkan iuran anggota setiap musim panen, yaitu seharga satu kaleng obat hama.
Sources :
1.     Makanan : wujud variasi dan fungsinya serta cara penyajiannya pada orang palembang daerah sumatera selatan –Departemen pendidikan dan kebudayaan
2.     Proses dan strategi adaptasi warga masyarakat transmigran di Desa Makarti Jaya, Sumatera Selatan
3.      Eprints.unsri.ac.id/1292/

Cornelia Dea Regita 15’SB | 2225151195 SISTEM KEPERCAYAAN SUKU SAKAI


Manusia adalah makhluk dinamis; senantiasa menginginkan perubahan. Sama halnya dengan pemikiran manusia. Menurut filsuf Auguste Comte, dalam perkembangan pemikiran manusia terdapat 3 tahap; Teologis, Metafisik dan Positif. Dalam tahap Teologis manusiapercayabahwadibelakanggejala-gejalaalamterdapatkekuasaantingkatan yang lebihtinggidarimakhluk-makhlukhidupbiasa.Tahap teologisinikemudian dapatdibagilagimenjaditigaperiode, diantaranyaadalahAnimisme (Percaya pada ruh-ruh ghaib), Politeisme (Percaya pada dewa-dewa), Monoteisme (Percaya pada satu Tuhan). Setelah tahap Teologis, dilanjutkan pada tahap Metafisik dimana manusia mulai percaya pada hukum alam. Terakhir sekaligus menjadi tahap tertinggi di kehidupan manusia adalah dimana segala sesuatu harus bisa dibuktikan berdasarkan rasionalitas akal dan data-data empiris. Namun di zaman serba modern yang menggunakan pola pikir positif ini, masih terdapat sekumpulan manusia yang berpegang teguh pada kepercayaan nenek moyang yang bersifat animistik. Salah satunya adalah suku Sakai (Salah satu suku keturunan Minangkabau yang telah hidup di pedalaman Riau sejak Abad ke 14.)
*Sistem Kepercayaan yang dianut dan dijunjung tinggi masyarakat Sakai hingga saat ini adalah bersifat animistik.Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai ini adalah kepercayaan terhadap keberadaan Antu/ mahluk gaib yang hidup di sekitar mereka. Antu mungkin tak terlihat, tetapi mereka ada. Antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka hidup berkelompok dan memiliki kawasan pemukiman layaknya manusia pada umumnya. Pusat pemukiman Antu ini dipercaya berada di tengah-tengah hutan rimba belantara yang tidak dijamah manusia. Namun tak bisa dipungkiri bahwasannya akibat banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi, kepercayaan akan Antu ini tak lagi sekental dulu. Selain itu juga meskipun kini banyak di antara masyarakat Sakai telah memeluk agama lain seperti Islam dan Kristen, dalam prakteknya, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktekkan ajaran nenek moyang yang masih diselimuti unsur animisme, magis dan makhluk halus.  Hal ini secara tidak langsung menjadi suatu konstruksi pola pikir dan pola perilaku masyarakat Sakai yang mendarah daging dan tak mungkin untuk dihilangkan begitu saja. Seperti dalam konsep mata pencaharian, peralatan hidup, upacara-upacara adat, pengobatan dll.
            Upacara Penerimaan Tamu
Sebelum sang tamu bisa diterima untuk masuk ditengah-tengah masyarakat Sakai, terdapat beberapa ritual yang harus dilakukan. Yaitu sang tamu memakan semacam ramuan yang terdiri dari pinang+kapur+gambir. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan tari-tarian yang diiringi senandung nyanyian dan irama gendang oleh pihak suku Sakai. Hal ini dimaksudkan untuk tolak bala/ menghindarkan diri dari segala bentuk kesialan yang mungkin terjadi. Ritual-ritual ini konon tak terlepas dari sejarah. Pada zaman dahulu, Apabila ada orang yang hendak masuk ke kampung suku Sakai harus membawa Uncang Jiak Jiok Pinang Masak Agak-Agak Pipik Sekawan (Sirih, Pinang, Tembakau, Kapur dan Gambir). Jika tidak, maka dianggap sebagai orang jahat dan tidak punya adat. Karenanya akan dikenakan hukum anta (dibawa kerumah Batin (kepala suku), disuruh untuk mandi, lalu disembelihkan ayam & dimasakkan nasi, disuruh untuk makan, kemudian diantar pulang namun ditengah perjalanan ia dibunuh

*      Mata Pencaharian
1.      Berladang
Ladang merupakan faktor pertama dalam memenuhi kehidupan suku Sakai. Fungsi utama ladang ialah guna membedakan antara hak pribadi dan hak sosial keluarga masing-masing. Dalam hal ini, terdapat beberapa proses sebelum seseorang bisa memiliki sebuah ladang dan menjadikannya tumpuan dalam hidup.  Diantaranya :
Ø  Memilihtempatuntukmembuatladang ; perundingan terhadap pihak keluarga atau tetangga, biasanya memilih hutan yang tidak banyak belukar &berada di tanah miring (karna biasanya tanah miring adalah tanah yang subur)
Ø  Membukahutanuntukberladang ; Melaporkan kepada Batin (kepala adat) dan menunjukan wilayah hutan yang akan dibuka, Dibersihkan; Masing-masing panjangnya 50 M & lebar 20 M,  aturan jarakdalam sebuah ketetanggaan ladang haruslah sama.
Ø  MenunggalPadi/Panen ; membiarkan tanah peladangan diguyur  hujan sekitar 1-2 minggu, Melubangkan tanah dengan kayu yang diruncingkan dengan ukuran 1-1,5 cm, menentukan hari untuk mempersiapkan kegiatan menunggal padi
Ø  Upacaramematikantanah ; Dilakukan oleh masing-masing kepala keluarga yang sama-sama membangun ketetanggaan ladang dan meminta perlindungan POTI SOI ( putri Sri, dewi padi)
Ø  menanamkan "jejakbumi" ; Di tanam sebatang limau nipis yang ditambah ramuan-ramuan serta membawa mantera “Pati soi Gemolo soi Siti dayang sempono Tuan, engkau nak besuko-suko ati Ketonggah ladang”
            Apabila orang Sakai tidak mengikuti aturan-aturandiatas yang telah menjadi tradisi maka dapat dipastikan HANTU TANAH atau penunggu ladang akan marah, dengan akibat sang peladang akan sakit dan hasil ladangnya akan buruk di serang hama, babi hutan dan binatang lainnya.
2.      Berburu Hewan
Dalam berburu, orang Sakai menggunakan alat bantu yang dinamakanKonjow; semacam tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan. Dalam proses pembuatannya, Konjowdibekali oleh mantra-mantra yang dimaksudkan agar mereka mendapat kemudahan dalam menangkap buruan. Hewan yang kerapdiburu adalah kera, babi hutan, kijang, dan kancil. Selain itu orang Sakai juga menggunakan konjow dalam menangkap ikan. Hasil dari buruan/tangkapan kemudian mereka gunakan untuk sumber penghasilan (dijual), barter dengan barang lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak atau bisa juga untuk kebutuhan lauk pauk sehari-hari

*      Pengobatan
Ø  Suku sakai masih mengandalkan dukun untuk pengobatan yang dipercaya ampuh menyembuhkan penyakit pasien sejak 100 tahun silam. Menurut suku Sakai, dukun adalah dokter terpercaya yang dalam proses pengobatannya dibantu oleh arwah.Tetapi tidak sembarang orang bisa menjadi dukun, syarat menjadi dukun ialah apabila telah mendapat wangsit/keturunan dari saudara lelaki yang juga menuntut ilmu dari dukun lain.  Dari proses persiapan awal pengobatan hingga akhir terdapat ritual-ritual tertentu yang harus dipatuhi. Misalnya dimana pasien membuat miniatur kapal yang di lengkapi bunga, burung tiruan dan menyalakan obor  (tidak selamanya miniatur kapal; sesuai pemintaan sang dukun), juga ketika dukun melakukan ritualmembaca mantra dan berdiri mengambil campuran putih dan kuning untuk disebarkan keseluruh ruangan selama 3x. Hal ini dimaksudkanagar dukun menemukan jawaban akan penyakit yang diderita sang pasien.
Ø  Suku Sakai menggunakan Urek Petoga/semacam ramuan yang sejak dulu diberikan pada setiap bayi agar berbadan kencang dan kuat. Selain itu ramuan ini juga menjadi semacam obat kuat yang menambah vitalitas organ seksual kaum pria. Ramuan Urek Petoga terdiri dari delapan jenis tanaman hutan (utamanya adalah akar dari pohon petoga, berbentuk tipis seperti akar beringin namun sangat keras).  Aturan nya diminum selama tiga hari berturut-turut, namun harinya harus pada 13 hari bulan; sesaat sebelum bulan purnama penuh. Selain itu syarat yang perlu dipenuhi saat mengonsumsi ramuan Urek Petoga yaitu sewaktu minum harus duduk di atas besi. Pada zaman dulu orang Sakai menggunakan batu sangat keras yang  disebut batu besi.
            Kesimpulannya, sistem kepercayaan yang dianut masyarakat Sakai ialah bersifat animistik.Terlepas dari banyaknya orang Sakai yang kini telah menganut agama seperti Islam dan Kristen, namun dalam penerapannya, setiap sendi kehidupan suku Sakai masih sangat dipengaruhi oleh faktor alam, lingkungan dan magis, misalnyadalam mata pencaharian, peralatan hidup, upacara-upacara adat, pengobatan dll. Hal ini secara tidak langsung menjadi suatu konstruksi pola pikir dan pola perilaku masyarakat Sakai yang mendarah daging dan tak mungkin untuk dihilangkan begitu saja.




Sumber : Orang Sakai di Riau. Suparlan Parsudi